Opini

Opini: Lamafa sebagai Model Kepemimpinan Maritim di Nusa Tenggara Timur

Semua anggota partai menyambut gembira dan penuh sukacita akan peristiwa politik yang ganjil ini. Bayangkan!

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/RICKO WAWO
Ilustrasi. Puluhan leva alep atau nelayan tradisional Lamalera mendorong pledang (perahu tradisional) ke laut untuk memburu paus. 

Semua anggota partai menyambut gembira dan penuh sukacita akan peristiwa politik yang ganjil ini. Bayangkan!

Dalam paradigma kepemimpinan maritim hal ini sangat tidak mungkin terjadi. 

Seorang nahkoda kapal hanya bisa menjadi nahkoda kapal sejauh dia ditempa seumur hidupnya di kapal, berlayar menghadapi badai yang tak pernah bisa diprediksi sebelumnya, belajar membaca arah angin dan rasi bintang, dan memenangkan hati para awak kapal dengan bekerja sama dengan mereka sedemikian sehingga pada gilirannya diterima secara sukarela untuk memimpin mereka.

Untuk menjadi seorang kapitan kapal tidak bisa hanya bermodalkan anak tukang kayu pembuat kapal. Agar dapat menjadi seorang kapitan yang handal tidak cukup hanya dengan melakukan pencitraan ala politisi feodal, berpura-pura mampu padahal sama sekali tidak. 

"Kompetensi seorang kapitan perahu akan selalu transparan, sementara inkopentensinya tak dapat disembunyikan...setiap kebohongan akan tersingkap dalam waktu singkat."

Lamafa sebagai Ideal Kepemimpinan Maritim

Lamafa atau jurutikam ikan paus merupakan salah satu aspek penting dalam tradisi berburu ikan paus (lefa nuang) yang sudah hidup selama turun temurun di kampung Lamalera, Kabupaten Lembata.

Seorang lamafa tidak sekadar bertugas sebagai jurutikam, lebih daripada itu ada tanggung jawab yang ia pikul bersama dengan tempuling (mata tombak) di atas peledang (perahu) dalam tradisi ola nua atau aktivitas melaut secara tradisional sebagai mata pencarian utama masyarakat Lamalera.

Masyarakat Lamalera meyakini seorang lamafa adalah pribadi yang sakral yang bisa terlihat dari ucapan dan tindakannya. 

Selama masa penantian untuk berburu ikan paus, seorang lamafa harus melakukan purifikasi diri: berpuasa dan berpantang termasuk soal hubungan seks dengan istri, tidak berkonflik dengan masyarakat, keluarga, bahkan istri dan anak, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan dan sekaligus menghubungkan kehidupan dunia laut dan kehidupan dunia darat (Alex Aur: 2020). 

Kesakralan seorang lamafa terletak di dalam konsistensi melaksanakan panggilan tugasnya untuk melayani seluruh warga kampung. 

Ketika melakukan lefa nuang, seorang lamafa memikul sebuah tanggung jawab untuk memberi makan seluruh kampung, terutama kaum janda dan anak yatim piatu, dengan hasil tangkapan ikan paus (koteklema). 

Koteklema di sini tidak sekadar ikan yang ditangkap di laut, lebih jauh dari itu dimaknai sebagai rejeki (knato) dari Tuhan yang diambil dengan suatu prasyarat etis-religius yang mendahuluinya. 

Ada matiraga, ada misa lefa sebagai rekonsiliasi dengan Tuhan serta ritual adat sebagai simbol kesatuan dengan alam dan leluhur. Salah satu aspek ini dilanggar, maka alam tidak akan merestui, paus tidak akan menyerahkan dirinya untuk dikorbankan.

“Sedo basa hari lolo/jaji pulo boi lema ropong/hode one sare,” (Oh ibunda lautan/engkau mengandung, melahirkan/memelihara dan meyimpan segala-galanya untuk kami.) Orang Lamalera percaya melalui ibunda laut Tuhan memberikan knato untuk keberlanjutan hidup mereka.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved