Opini

Opini: Lamafa sebagai Model Kepemimpinan Maritim di Nusa Tenggara Timur

Semua anggota partai menyambut gembira dan penuh sukacita akan peristiwa politik yang ganjil ini. Bayangkan!

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/RICKO WAWO
Ilustrasi. Puluhan leva alep atau nelayan tradisional Lamalera mendorong pledang (perahu tradisional) ke laut untuk memburu paus. 

Seorang lamafa hidup dengan suatu kesadaran ekologis. Contoh, ia hanya menombak paus sperma (koteklema) dan tidak membunuh paus yang sedang hamil, paus yang masih anak-anak, atau membunuh paus biru. 

Hal ini merupakan bagian dari tradisi perjanjian adat yang sudah berlaku turun temurun sebagai upaya masyarakat Lamalera untuk tetap menjaga kelestarian ekosistem di laut.

Realisme politik yang memungkinkan tujuan menghalalkan segala cara tidak berlaku dalam tradisi lefa nuang orang Lamalera.

Dalam konteks politik kepemimpinan kita di NTT saya kira nilai-nilai kepemimpinan lamafa sangat relevan. Seorang pemimpin adalah mereka yang terpanggil untuk melayani orang banyak, untuk mengantarkan semua masyarakat kepada suatu tatanan masyarakat yang sejahtera (bonum communae). 

Untuk bisa menghadirkan kesejahteraan bersama, maka pemimpin mesti sudah selesai dengan dirinya (purifikasi) sedemikian rupa sehingga fokus dan tujuannya berkuasa adalah untuk mengejar kebaikan bersama itu dan bukan yang lainnya. 

Pemimpin yang korup, memperkaya diri dan keluarga, yang tidak "sakral" tidak akan selamat di dalam perburuan paus, tidak akan amanah dan bertanggung jawab. NTT sedang berada di dalam tahun politik yang dinamis. 

Sebentar lagi kita akan mencari dan memilih pemimpin. Seperti seorang lamafa, pemimpin tidak muncul tiba-tiba dan didrop dari atas, tetapi berasal dari bawah, ditempa oleh badai dan gelombang, dibesarkan oleh adat dan tradisi, menjalani laku hidup yang ketat dan terikat oleh "sumpah adat" yang tidak bisa dilanggar seenak perut, dan berorientasi pada bonum communae.

Ketika ikan paus berhasil ditangkap, lamafa bersama dengan para awak perahu mendayung pulang peledang ke tepian dengan mendaraskan suatu syair yang indah. 

“Sora taran bala tala lefo rai tai/Tuba bera rai nai ribu lefo gole/Kide ina-fai tuba bera rai nai,” (Kerbau yang bertanduk gading/Mari kita beranjak menuju kampung nun di sana/seluruh masyarakat merindukan kehadiranmu. Ayo, segeralah kita ke sana. (*)

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved