Opini

Opini: Almarhum Nirwan Arsuka, Tanpa Titik

Di bagian dalam, ada sketsa tokoh literasi: Nirwan Ahmad Arsuka. Beliau dikenal sebagai esais. Secara berkala beliau menulis di koran nasional.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Nirwan Ahmad Arsuka. 

Oleh: Wilfrid Babun SVD

Pegiat literasi dan Pendiri TBM Kompak Le Nuk Manggarai dan TBM  SanJose Sumba Barat Daya.

POS-KUPANG.COM -Kominfo, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia mengirim paket ke Taman Baca Kompak Le Nuk di Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur ( NTT). 

Sependek ingatan saya, sudah beberapa kali kami mendapat bantuan ini.  Sampul Komik Komunika ini bertuliskan ”Simpul Pustaka”. Itu spesial. Kenapa?

Di bagian dalam, ada sketsa seorang tokoh literasi: Nirwan Ahmad Arsuka. Beliau dikenal sebagai esais. Secara berkala beliau menulis di koran nasional. Kelahiran  Kampung Ulo, 1967 Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. 

Ada tulisan ini: “Jika bangsa adalah sebuah tubuh, maka pengetahuan dalam pengertiannya yang paling luas adalah oksigen yang menentukan kesehatan dan keutuhan bangsa tersebut”.

Banyak pegiat literasi kaget. Berita duka. Sebagai salah seorang pegiat literasi, tergabung dalam Pustaka Bergerak Nasional, saya turut larut dalam belasungkawa. 7 Agustus 2023 yang lalu, beliau wafat. RIP.

Saya pikir, Komik Komunika Simpul Pustaka ini dikhususkan untuk mengawetkan memoria kolektif kita. Bagaimana  pergerakan literasi Presiden Literasi ini. 

Dulu kita serukan revolusi, “Merdeka”, kini ada metamorphosis: revolusi literasi/ revoliterasi. Saya ingat, Kompas pernah bikin zoom meeting. 

Saya chat dan beliau share linknya. Lantaran signal tidak elok, saya pendam rindu untuk gabung dalam zoom itu. Dia lalu megirim WA ini . 

“Kita akan membuat seri berikutnya. Salam literasi. Salam revoliterasi”. Dan saya masih simpan sedikit jejak jari digitalnya itu, 9 Mei 2023. Empat bulan kemudian, Agustus beliau menghembuskan napas terakhir. 

Pustaka Bergerak Indonesia adalah legacy dan napasnya yang masih terus saja bergerak ke seantero jagat Nusantara. Beliau itu hero!

Saya sempat ngoceh di group WA Pustaka Bergerak Indonesia. “Sejak kapan Alm. Nirwan Ahmad Arsuka ini diberi julukan atau apalah namanya, sebagai Presiden Literasi?” 

Teman-teman sesama pergerakan literasi, respons sekenanya saja. Mungkin, memang tidak perlu dijawab. Ada teman, malah lebih fokus pada foto sketsa wajah Alm. Bang Nirwan yang saya screen shot. Komen pendek saja: ”Keren”.

Buku dan isinya merupakan upaya merawat ingatan kolektif. Saya kira Komunika edisi 50/ 2023 punya salah satu intensi demikian. Bagaimana bang Nirwan hidup dan dihidupkan selalu dalam nurani kita semua. 

Menjadi referensi dunia literasi tanah air. Gerakannya memang start dari zero. Dari zero ke hero!

Ada pelukisan yang elok di awal buku tipis ini. Bang Nirwan bagai seorang cowboy. Pake topi bertelinga lebar. Disampingnya ada seekor kuda. Di punggung  kuda itu ada tas, digendong. Isinya buku. 

Itu sudah pasti. Kuda dilukiskan sementara berpacu. Dalam tradisi lokal, kuda sering diasosiasikan sebagai kekuatan, tak kenal letih, energi yang mumpuni, elan vitae.  

Seakan mau menjelaskan bahwa literasi itu harus berpacu dalam dan bersama gerakan sang waktu. Waktu tidak saja digambarkan secara siklis, tetapi goalnya haruslah khairos. Literasi itu kabar gembira, the Good News.

Alm. Bang Nirwan seakan mau bilang: bersama sang waktu keabadian, gerakan literasi ini menghantar manusia dan generasi kepada pencerahan. 

Aufklaurung kemanusiaan. Manusia tidak saja tampan raganya. Jiwanya dirawat, rasionalitasnya mestinya menjadi beradab, bermartabat. 

Mengutip filsuf Descartes: cogito ergo sum. Gerakan literasi itu lalu mewabah ke mana-mana. Sudah menjadi gerakan dan pergerakan sosial.  

Layaknya satu gerakan sosial, ada dialektika teks dan konteks. Ada ideologi. Ada big-dream.  

Gerakan literasi ini bukan lahir dari vacuum.Maka, saya suka menggunakan terma: revolusi literasi!

Mungkin ini deklarasi sikap bang Nirwan: Perjalanan Belum Selesai (hlm.13). Bahwa literasi sebagai satu (per)gerakan sosial tidak mengenal berhenti. Pantha rei. Ada bukti. Banyak taman baca, simpul literasi yang bergerak bersama dalam satu jejaring sosial. 

Data versi Kominfo, ada 3.000 Pustaka Bergerak Indonesia. Kolaborasi dan sinergisitas semua yang peduli, passion menjadi satu imperatif agar banyak orang memiliki akses yang sama untuk mendapat pengetahuan.  

Oleh karena buku dan membaca buku, rasanya tidak tergantikan.  Literasi harus menjadi kultur (culture set).

Ada sinergisitas dan kreativitas yang saling terhubung dan menghubungkan. Peluang selalu ada untuk melahirkan gen literat, bersanding apik dengan perkembangan dunia teknologi digital zaman now. 

Membawa api literasi ke tengah dunia dengan kesadaran penuh. Merawat dunia-manusia dengan kompleksitasnya memaknai literasi yang positif, pro-humanitas. 

Ini semacam wasiatnya. “Ingat kalian lanjutkan untuk berbagi pengetahuan dengan anak-anak Indonesia”. (hlm.32.) Ewa, begitu namanya di kala bocil, bermimpi. Dan mimpi itu belum selesai. Tidak ada titik. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved