Cerpen
Cerpen: Jejak Yang Terhapus
Ia kaget ketika Pa Narto suaminya yang dari tadi asyik menikmati kopi sambil membaca buku tiba-tiba bertanya kepadanya.
Oleh: Safry Dosom *
Matahari sudah mulai tenggelam di ujung barat rumah, sementara Mama Meri masih sibuk menata bunga yang sedikit berantakan.
Ia kaget ketika Pa Narto suaminya yang dari tadi asyik menikmati kopi sambil membaca buku tiba-tiba bertanya kepadanya.
“Mam, benar ya kata mereka?”
“Benar apa Pa?”
“Zaman sekarang Mam, pergerakan manusia sudah berubah.”
“Memang semuanya suda berubah Pa. Itulah perkembangan yang tidak bisa kita hindari,” demikian respons Mama Meri dan ia melanjutkan, “Coba lihat sekarang, semua kebiasaan yang dulu kita lakukan telah hilang. Kebersamaan dalam satu komunitas pun tidak seperti dulu lagi.
Anak-anak sekarang hanya sibuk dengan dirinya sendiri dan sibuk dengan gadget milik mereka.
Tentu perkembangan teknologi yang sangat canggih ini telah mengubah cara hidup manusia. Sehingga hal ini membuat setiap orang sering dijuluki sebagai manusia teknologi.”
“Memang benar Mam, zaman dulu rasa persaudaraan itu sangat erat. Kebersamaan dalam satu kelompok pun akan menciptakan suasana yang baik. Kebersamaan akan membawa suatu kebahagiaan."
"Untuk anak-anak mudah zaman dulu yang kuliah di kota, mereka mengirimkan pesan kepada orang tua mereka melalui sebuah surat. Tetapi, sekarang sudah bagus. Banyak yang mengirim pesan lewat media sosial seperti; Facebook, twiter, whatsapp, dan sebagainya.
Semuanya tidak membutuhkan waktu yang begitu lama. Ada pepatah yang sering diucapkan oleh anak-anak zaman sekarang ‘Saya terhubung maka saya ada’.” Demikian Pa Narto melanjutkan lagi dengan senyum.
Di usianya yang sudah tua itu, setiap hari Pa Narto menghabiskan waktunya dengan membaca banyak buku dan majalah lainnya.
Ia sangat senang karena menurutnya dengan membaca ia akan menemukan kembali segala sesuatu yang telah lupa.
Setiap hari lelaki tua itu merasa cemas melihat anak-anak menghabiskan waktu dengan gadget milik mereka.
Generasi yang tumbuh dengan segala fasilitas hidup, sering mereka tidak paham cara berkehidupan sebagai makhluk sosial; demikian pikirnya pada suatu kesempatan.
Anak-anaknya yang bertugas di kota sering menawarkannya untuk memakai Hp android yang sangat tren di zaman ini. Mereka selalu memaksanya untuk menggunakan Hp yang baru tersebut.
“Dengan menggunakan Hp android kami bisa menanyakan kabarnya Papa dan Mama melalui video call.”
Ah, itu hal bodoh menurutnya. Pa Narto hanya ingin mereka datang menjenguk ia dan istrinya secara langsung.
Jika waktu liburan pun tiba, anak-anak sering meneleponnya untuk menanyakan barang apa yang harus mereka belikan untuknya.
Lelaki tua itu merasa senang, karena saat itu menjadi kesempatan yang baik untuk meminta mereka membelikan buku-buku terbaru di toko buku.
Mendengar jawaban darinya, anak-anaknya yang tinggal di kota sering marah padanya; “Buat apa sih Bapa beli buku lagi? Sekarang saatnya Bapa untuk menikmati masa tua!”
Ia tak peduli apa yang mereka katakan. Hanya itulah yang ia inginkan.
Pada suatu kesempatan sebelum anak-anaknya berlibur, ia dengan semangat menyusun kembali semua cerita zaman dulu yang menurutnya menarik jika diceritakan di depan cucu-cece kesayangannya.
“Ko Bapa sangat sibuk?” tanya Mama Meri.
“Tidak Mam, saya hanya ingin membuat suprise kepada cucu-cece kesayanganku.”
“Oh. Memangnya mau suprise apa?” lanjut Mama Meri lagi.
“Aku ingin menceritakan kepada mereka tentang kisah-kisah zaman dulu yang sangat lucu dan menarik.”
“Ah… Bapa hanya ingin membuang waktu saja, mereka juga telah banyak membaca cerita yang tak kalah menarik dengan cerita kita zaman dulu,” tangap Mama Meri.
“Tapi ayah dan ibu mereka selama ini sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.”
“He-he-he, itu yang Bapa tidak tahu, sekarang mereka membaca cerita lewat online saja.”
Pa Narto tidak peduli apa yang Mama Meri katakan. Dengan percaya diri ia terus melanjutkan pekerjaannya itu.
Selama ini ia ingin berbahagia bersama dengan anak-anaknya serta cucu-cece kesayangannya. Ia mau menceritakan semua cerita tersebut seperti halnya dulu ia telah lakukan kepada anak-anaknya.
Hari liburan pun tiba, satu persatu wajah anak-anaknya mulai muncul. Kebahagiaan mulai muncul di wajah yang mulai keriput itu. Sungguh kebahagiaan terbesar adalah keluarga.
Ketika Pa Narto sedang asyik bercerita, di dapur Mama Meri mulai sibuk. Meski pun kesehatannya yang kurang baik ia tetap semangat untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk anak-anaknya.
Ia mulai masak makanan tradisional yang pada zaman dulu sangat disukai oleh anak-anak mereka.
Makan malam pun berlangsung dengan bahagia, tawa dan canda mereka rasakan
bersama.
Wajah Pa Narto yang keriput itu tampak sangat bahagia. Kerinduannya selama ini telah diwujudkan.
Mereka saling menceritakan pengalaman dan Pa Endi anak sulungnya menceritakan segala kesuksesan dalam usahanya.
Ketika makan malam berakhir, dari tempat duduknya Pa Narto bergegas menuju ke kamar untuk mengambil kumpulan cerita yang telah disusunnya selama ini.
Semua cerita yang telah di buatnya dikumpulkannya menjadi satu buku. Dengan percaya diri ia mau menceritakan kepada cucu-cucunya.
Setelah ia mengambil kumpulan cerita itu, ia sangat kaget ketika melihat suasana ruang tamu yang cukup besar itu mulai sepi. Hanya ada Pa Endi, Mama Sinta menantunya dan Mama Marta di sana.
Ia mendadak diam. Tak ada kata yang bisa ia ucapkan. Beberapa menit kemudian dengan suara yang terpaksa ia pun bertanya.
“Anak-anak di mana?”
“Ohhh… biasa Pa anak-anak muda sering menghilang,” jawab Pa Endi sambil tersenyum
“Hilang kemana?” Pa Narto kembali bertanya dengan nada keras dan muka merah.
“Itu, mereka asyik dengan gadget milik mereka.”
Lelaki tua itu pun merasa kecewa. Raut wajahnya terlihat banyak pikirkan. Wajahnya yang tadi tampak bahagia kini mulai pudar.
Matanya mulai mengaca. Setelah sekian lama, ia tak lagi bisa membendung air matanya. Pa Endi dan istrinya kaget melihat hal itu. Dengan perlahan mereka mendekatinya.
“Ada apa Pa, kok Bapa menangis?”
Ia sama sekali tidak menjawab mereka. Wajahnya yang mulai keriput itu penuh dengan rasa kecewa.
Ia merasa malu dengan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi, dunia ini sudah berubah, pikirnya.
Selama ini, lelaki tua itu ingin memulai kembali kebahagiaan yang pernah ia rasakan dulu dan ia ingin kebahagiaan itu dimulai kembali bersama degan cucu-cecenya sebelum ajal menjemputnya.
“Sungguh, jejak-jejak sudah terhapus!” katanya dengan suara kaku dan dengan napas yang memburu. (*)
Maumere, Kamar 04, 2024.
Tentang penulis
Safry Dosom lahir di Manggarai Barat. Sekarang tinggal di Maumere. Beberapa cerpennya telah terbit di media nasional dan media lokal.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.