Cerpen
Cerpen: Air Mata Dara
Dara membuka pintu itu dengan hati-hati. Tampak ruangan yang begitu besar dan luas. Tersedia makanan mewah yang masih tertata dengan rapi.
Karena Satria dengan segala bentuk perhatian dan sayangnya membuat dara harus menunduk mengalah dengan perasaannya sendiri. Ia tahu bahwa Satria tidak mungkin akan menolak permintaan kedua orang tuanya.
***
“Gadis cengeng kenapa kamu sedih? “
“Aku hanya tidak ingin berpisah “
“Memang siapa yang mau berpisah Dara? Hahahha “ Satria tertawa terbahak-bahak.
“Memang kamu yakin kita akan bersama selamanya?“
“Aku yakin Dara, kamu tetaplah gadisku, sampai kapanpun…“
Dara menitikan air mata, begitu mengingat lagi begitu banyak kenangan dan percakapan mesra yang pernah ia lewati bersama Satria. Dia dulu pernah mengatakan ini padaku. Sekarang kata-kata itu sudah sirna. Gumam Dara.
Sementara itu di rumahnya, terjadi pertengkaran hebat antara Satria dengan Ananta. Malam yang panjang itu seolah menjadi sebuah pertanda bahwa memang sebentar lagi ia akan berpisah dengan gadis kesayangannya.
“Apa maksud ibu bertemu dengan Dara? “ Suara Satria yang lantang memenuhi seluruh ruangan tengah. Ia menarik napasnya panjang sambil menatap ibunya.
“Ibu hanya ingin kau menjauhi gadis itu. “ ucap Ananta dengan lantangnya.
“Sudah berapa kali Satria katakan, Satria tidak mungkin meninggalkannya.“
“Sampai kapan seperti ini Satria? Besok Aleska akan datang. Dan ibu tidak mau tahu, proses lamaran dan pertunangan kalian harus segera dilakukan."
“Ibu benar-benar egois. Aku tidak mencintai gadis itu."
“Cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Aleska itu gadis yang baik, pintar, seagama, sepadan dengan kita. apalagi yang kamu pikirkan Satria?"
“Aku tidak mencintainya. “
“Apa yang akan kamu lakukan satria? Ibu sudah sepakat dengan ayahmu,jika kau tidak menuruti kemauan ibu, kau tidak akan dianggap lagi. Jadi silakanpergi, mencari jati kehidupanmu. “
“Maksud itu apa? “
“Iya satria. Jadi kamu harus mengikuti kata-kataku “
“Aaaaaah.. tega ibu sama Satria. “
“Sekarang mau apa kamu? Semua resepsi lamaran sudah siap. Tinggal kau menjalaninya.“
Usai mengungkapkan itu, Ananta segera beranjak pergi. Meninggalkan Satria yang masih dalam keadaan bimbang penuh amarah. Apa yang bisa Satria lakukan sekarang? Harus menyakiti Dara? Harus meninggalkannya disaat seperti ini?
Ini benar-benar sebuah cobaan yang begitu berat. Di satu sisi Satria tidak ingin meninggalkan Dara namun disisi lain Satria tidak mungkin melanggar aturan keluarganya untuk menikah dengan gadis berketurunan yang sama.
***
Hai Dara, besok aku akan menikah di Belanda. Aku harap kamu menerima semuanya. Tapi aku janji, aku akan kembali ke Indonesia untuk menemuimu.
Sebuah pesan dari Satria malam itu seoalah bagai tombak yang menusuk hatinya. Begitu entenngya Satria mengirimkan pesan ini.
Apakah malam itu Satria akan meniduri wanita itu? apakah mereka akan bermesraan? Oh tidak Satria kini akan menjadi milik orang lain. Guman Dara.
Malam yang begitu mencekam untuk Dara. Menangisi kepergian Satria, melepaskan cintanya untuk selamanya. Tidak ada lagi bulan purnama yang indah bagi Dara malam itu. baginya semua adalah hampa, tak ada sedikit kebahagiaan untuknya. Dara akan menangis sepanjang musim ini, melihat begitu banyak kenangan bersama Satria. Beredar foto Satria di media sosial.
Ia menggandeng, mencium kening gadis itu, dan memeluknya. Apakah semua ini kau lakukan dengan terpaksa Satria? Ini sebuah rasa sakit yang tidak pernah aku duga
sebelumnya.
***
Malam yang syahdu menghantarkan Dara di tepian sebuah danau. Bersama dengan Satria setelah hampir tiga tahunan berpisah. Tatapan ke Danau hanya hamparan kosong baginya. Tiada kata yang mampu ia ucapkan, setelah Satria lebih memilih keputusan orang tuanya.
Satria membalikan badannnya menatap ke wajah gadis yang menemaninya hampir empat tahunan itu. Ia tersenyum kecil . Tampaknya gadis itu terlihat gelisah.
“Hai, apa kamu baik-baik saja? Aku mencintaimu.”
Satria mengelus rambut dara dengan manja.
“Kamu sudah bersama orang lain “
“Aku tetap mencintaimu “
Dara membalikan badannya sambil tersenyum sinis.
“Lantas, kenapa kamu lebih memilih perempuan itu? “
“Cinta tidak harus memiliki bukan?“
“Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu."
“Dara, dengarkan aku. Sampai kapanpun aku tetap mencintaimu. Istriku tidak tahu tentang kamu dan masa lalu kita. Apapun yang terjadi kamu tetap jadi cinta terindahku.. “
“Sudahlah Satria. Kamu pergi saja, aku sudah ikhlas. Aku sudah merelakanmu .. “
“Dara selama setahun ini aku tidak pernah bahagia, aku lebih memilih menyibukkan diri dengan kegiatan pribadiku. Yahh, sama seperti dulu. Aku kira kamu pasti tahu kebiasaanku.“
“Iyah. Apa kau meniduri wanita itu? “
Satria menghela napasnya panjang sambil menatap wajah Dara, ia menunduk sesaat dan menganggukan kepalanya.
“Maaf. Tapi sampai hari ini kami tidak diberi keturunan “
“Oooohh. Aku turut sedih. “
“Aku pikir kamu gadis yang cocok untuk memberiku keturunan. Maka dari itu aku tidak ingin menanamkan benihku pada Aleska.“
“Satria, lupakan aku. Kita sudah berpisah. Kamu harus mulai membiasakan diri hidup bersama Aleska. Dia pasti akan sedih jika kamu bersikap cuek padanya.“
“Aku tidak ingin menyakitimu sayang… “
Dara menggelengkan kepalanya sambil menitikan air matanya. Ia menatap cowok itu. masih dalam keadaan tidak percaya, bahwa akan serumit ini cintanya Satria. Bahkan ia rela tidak memiliki keturunan.
“Aku sudah ikhlas. Aku ingin kamu bahagia satria Jangan pernah ingat Dara lagi “
“Aku akan mencobanya. “
Dara tersenyum.
Cup. Ciuman diberikan Satria tepat mengenai keningnya.
“Semoga kamu bahagia.. “
“Kamu juga.. “
Cinta itu kini sudah lenyap dan hilang. Tidak ada lagi cinta yang indah selain cinta Dara pada Satria.
Jika ini adalah sebuah takdir, maka Dara akan menerimanya. Bukankah cinta tidak selamanya harus memiliki?
Dara tersenyum sembari melangkah pergi. Ia berjalan tertatih-tatih menapaki jalan lalu hilang di tengah gelapnya malam seiring dengan cintanya pada Satria. (*)
* Risna Ase lahir di Maumere, Flores pada 19 Mei 2002. Gadis yang sedang menempuh pendidikan S1 Ilmu Komunikasi di Universitas Nusa Nipa ini menyukai dunia menulis sejak duduk di bangku SMP. Karyanya sudah banyak diterbitkan baik itu di majalah, media online dan antologi menulis bareng.
