Opini

Opini: Menguji Kelayakan El Asamau jadi Bacawagub NTT 2024

Saya sama sekali belum menjumpainya secara langsung, kecuali melalui media sosial. Tulisan ini pun dibuat tanpa sepengetahuannya.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
El Asamau. 

Keempat, El Asamau, simbol politik anti primordial. Di Pulau Timor, Flores, Sumba, Sabu bahkan Rote, dia disambut dengan hangat. Tak peduli El Asamau dari suku mana. Di gunung dan pantai pun dia diterima sebagai anak kandung tanah Flobamorata, bukan anak kandung orang Alor atau Maumere – tempat bapak dan mamanya berasal.

Barangkali ini suatu hal yang jarang kita temui sebelumnya. Hemat saya, kehadirannya telah meruntuhkan politik identitas yang laten dimainkan oleh segelintir elit politik ketika hendak mengajak masyarakat untuk menentukan pilihan mereka.

Rakyat yang kerap memilih karena politik identitas nyatanya tidak diberlakukan terhadap sosok El Asamu. Dalam kontestasi DPD RRI kemarin, sesungguhnya dia dipilih oleh masyarakat yang moderat, tulus, setia dan mencintai perubahan.

Kelemahan

Setidaknya, ada dua kelemahan utama seorang El Asamau. Pertama, dia bukan berlatar belakang anggota atau pengurus Parpol. Kondisi ini bagaimana pun sedikit banyak mempengaruhi persaingannya dengan nama-nama Bacawagub lain yang berasal dari Parpol. Hal ini berlaku jika Parpol lebih mengutamakan kader internal, ketimbang dari luar Parpol.

Kedua, berkaca pada pemilihan DPD RI, jika menyebut El Asamau tak punya uang sebagai kelemahannya, saya lebih baik – memilih dengan – menyebut bahwa komitmennya untuk tidak bermain politik uang adalah kelemahannya yang
sesungguhnya. Apakah kemudian saya menganjurkan agar dia bermain politik uang?

Tidak. Barangkali dia punya uang, tapi rasanya dia bukan sosok pragmatis yang suka menipu rakyat dengan cara membeli suara. Buktinya, El Asamau konsisten dengan edukasi-edukasi politik bernas yang dia bangun. Narasi-narasi dan diskursus politik yang dilakukan di jagad maya dan nyata, membuktikan, dia bukan tipikal orang yang suka dengan permainan “serangan fajar” untuk mencari “satu kepala berapa? atau dalam bahasa Jawa “wani piro?”, demi mendulang suara.

Dia tidak mau mengotorkan kesucian demokrasi era reformasi – yang telah diperoleh dari darah bahkan nyawa generasi 98’, media massa dan rakyat.

Pada titik ini, komitmen El Asamau untuk menemukan Parpol yang cocok dengan gagasan “politik bersih” yang diusungnya, pasti akan sulit, jika Parpol masih menilai uang adalah segalanya dalam politik.

Meski dia tak punya modal finansial, tapi realitasnya dia masih memiliki modal sosial yang begitu kuat. Berkat kepopulerannya, misalnya, namanya kini santer dipertimbangkan khalayak untuk jadi tandem Ansy Lema, Emanuel Laka Lena dan nama-nama Bacagub NTT lainnya.

Akankah Parpol atau Bacagub akan mengabaikan modal sosialnya, lantas menjadikan finansial sebagai satu-satunya syarat untuk meminangnya? Kita lihat saja.

Peluang

Dalam politik, semua hal serba dinamis. Peluang bagi El Asamau menjadi Bacawagub masih terbuka. Jika ada Bacagub yang membangun komunikasi politik, harus disambut. Apalagi, jika ada yang meminang, harus diterima. Jika dua
kesempatan di atas tak ada, El Asamau bisa saja membangun komunikasi dengan Parpol atau dengan para Bacagub.

Hemat saya, ini adalah kesempatan baginya untuk menjawab kepercayaan rakyat yang kemarin memilihnya. Sebab, saya kira mayoritas rakyat yang memilihnya masih menaruh harap padanya, termasuk ketika harus bertarung dalam bursa Pilkada NTT. Peluang ini akan pupus jika El Asamau kukuh ingin kembali ke kebun dan urus pendidikan dengan kapasitas yang dimilikinya saat ini.

Ancaman

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved