Opini

Opini: Menguji Kelayakan El Asamau jadi Bacawagub NTT 2024

Saya sama sekali belum menjumpainya secara langsung, kecuali melalui media sosial. Tulisan ini pun dibuat tanpa sepengetahuannya.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
El Asamau. 

Pria kelahiran Maumere 1988 itu lantas dijuluki “lurah sampah” sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun dini dan bekerja sebagai wiraswasta.

Di bidang pendidikan, El berlatar belakang lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) angkatan 18, dan lulusan Magister (S2) di American University Washington DC, Amerika Serikat, bahkan saat ini dia tengah melanjutkan pendidikan doktoral (S3) di kampus yang sama di negara adi daya.

El Asamau juga diketahui berpengalaman di berbagai organisasi seperti Ketua Matagaruda (organisasi para penerima beasiswa lPDP) NTT 2018-2020, Founder yayasan Dolorganisasi, Founder PKBM Alorinda, Wakil Presiden Perhimpunan Mahasiswa di Washington DC, Amerika Serikat, Pengurus GAMKI Alor, Wakil Ketua Kadin Kabupaten Alor, dan Ketua Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Kabupaten Alor.

Melalui lembaga Pendidikan Luar Sekolah yang didirikan, misalnya, dia telah membantu pemerintah NTT, khususnya Kabupaten Alor untuk menekan angka putus sekolah. Betapa tidak, diketahui sebanyak 820 warga sudah menamatkan PLS, dan masih tersisa ribuan warga lain yang ingin belajar.

Dalam mempersiapkan anak-anak Alor maupun NTT, dia juga membuka lembaga kursus Bahasa Inggris agar mereka bisa belajar untuk melamar beasiswa. Dengan sederet pengalaman pendidikan, profesional dan birokrat, memberi sinyal bahwa dia memiliki posisi tawar bagi para Bacagub NTT 2024 ini.

Kedua, El adalah representasi rakyat kecil. Kehadirannya bak oase di tengah dahaga dan kerinduan masyarakat yang anti terhadap politik identitas dan politik uang.

Terlepas dari kekalahannya di DPD RI, tidak berarti bahwa dia kalah di hati rakyat yang memilihnya. Dia adalah pemenang di hati pemilihnya. Barangkali El Asamau adalah orang yang paling bahagia dari para politisi yang kalah saat ini.

Sebab, dia kalah dengan kepala tegak. Tentu saja, karena dia berpolitik tanpa “membeli suara” rakyat dan tanpa politik identitas. Dia sadar untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune), ia tidak perlu melakukan kejahatan dalam politik melainkan menaklukan kejahatan dengan kebaikan (bono malum superate).

Bagaimanapun presensinya dalam kontestasi DPD RI kemarin telah membawa gagasan dan dialektika politik yang bernas dan elegan. Sebab, segelintir rakyat akhirnya mengubur dalam-dalam alasan memilih karena uang dan identitas.

Rakyat seakan bosan dengan janji-janji manis disertai praktik politik pragmatis, yang dimainkan setiap kali hajatan Pemilu. El Asamau sungguh ada di hati rakyat kecil.

Terbukti, dia berhasil mendulang 265 ribu suara, meski kemudian hanya bertengger di urutan 5 perolehan suara DPD RI.

Ketiga, popularitas El Asamau tak perlu diragukan. Saya kira, jika disandingkan, namanya belum “tenggelam” dan masih bertengger di antara nama-nama populer Bacawagub lainnya.

Hal ini tidak terlepas dari strategi dan komunikasi politik – yang relevan dengan perubahan zaman – yang ia bangun. Kampanye politik di media sosial untuk memenangkan pemilih gen z dan millenial benar-benar terbukti.

Pengikutnya di Grup Facebook, misalnya, sebanyak 40 ribu, belum media sosial lainya. Dia juga adalah calon DPD RI yang sosialisasi tanpa menggunakan baliho atau kartu-kartu nama.

Selain itu, untuk menjangkau pemilih yang belum melek teknologi, khususnya di media sosial, El Asamau diketahui ke kampung-kampung meski hanya bermodal sepeda motor. Dia kemuduan bertemu rakyat di jalan, pasar, rumah, kebuh dan
lainnya. Strategi politik door to door yang dilakukan membuat dia mendapat tempat di hati masyarakat.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved