Opini

Opini: Persusuan

Begitulah lika liku laki-laki, harus siap menanggung luka-luka kalau berani bicara tetek bengek di hadapan perempuan-perempuan kelas berat.

Editor: Dion DB Putra
purestock
Ilustrasi. 

Oleh: JB Kleden
Warga negara penyuka susu, tinggal di Kupang

POS-KUPANG.COM - Di sebuah kafe, dua lelaki ngobrol perihal kopi. Satu lelaki bertanya kepada yang lain: "Kamu lebih suka espresso apa latte?" Lelaki yang ditanya menjawab, "Latte karena ada susunya yang lembut. Tapi rasanya lebih creamy kalau susunya dipegang.”

“Dasar lelehanak” seorang wanita di kelas 40DD menggebrak dari seberang meja. Wajah kedua lelaki tersebut mendadak seperti kepiting rebus.

Begitulah lika liku laki-laki, harus siap menanggung luka-luka kalau berani bicara tetek bengek di hadapan perempuan-perempuan kelas berat.

Tapi artikel ini bukan sketsa mengenai situasi di kafe tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, arti kata persusuan adalah perihal susu.

Susu bukan barang baru, namun ia menjadi catatan politik semenjak Prabowo-Gibran menjadikan “minum susu gratis” bagi anak-anak sekolah, balita dan ibu hamil,” di samping “makan siang gratis di sekolah dan pesantren,” sebagai program mereka.

***

PERIHAL susu, ada kisah masa kanak-kanak yang mengesankan. Almarhum ayah saya seorang tukang batu di misi Larantuka. Menjadi tukang misi di tahun 1960-an bagi orang kampung punya privilese tersendiri. Betapa tidak.

Pergi dan pulang kerja diantar jemput dengan oto, dapat gaji yang layak setiap bulan, ada jatah beras, kopi, gula, juga susu untuk anak-anak.

Nah, susu ini sesuatu banget. Maklum barang langka. Maka “mencuri” susu dari dapur mama (alm), dan membawanya ke pantai untuk dimakan ramai-ramai bersama teman-teman, merupakan perbuatan “amal” yang teramat mengasyikkan kala itu.

Kegembiraan kami adalah meremas-remas susu bubuk hingga menggumpal lalu menjilatnya. Ia memberikan sensasi tersendiri saat melengket di langit-langit mulut. Begitulah kami. Sunt pueri, puerilia tractant sunt.

Anak-anak bersifat kanak-kanak, anak-anak bermain secara kanak-anak.
Di zaman itu kami memang lebih suka makan susu mentah dengan menjilatinya perlahan-lahan ketimbang masak dan meminumnya.

Masalah mendasarnya adalah perut. Perut kami orang kampung memang tidak cocok minum susu. Begitu minum, pasti langsung ke kakus. Kalau telat, maka celana rider kami menjadi sasaran tembak. Seperti lapar, mencret memang tidak bisa ditahan lama-lama.

Belakangan baru saya tahu dari Prof. Dr. J. Glinka, SVD (alm), perintis Antropologi Ragawi Indonesia di Universitas Airlangga Surabaya, bahwa usus kami orang kampung termasuk jenis usus yang peka susu.

Istilah kerennya lactose intolerance. Itu sebabnya begitu kena susu langsung diare.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved