Opini

Opini: Berapa Lama Mereka Boleh Menjabat?

Ada ironi pada fenomena itu. Di satu sisi, event Pemilu secara harafiah dimaknai sebagai membatasi masa jabatan.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM
Ilustrasi. 

Tanpa disadari rakyat lupa bersikap kritis dan adil perihal pemberian mandat.

Fenomena ini menjadi tanda rakyat belum sepenuhnya memegang kendali atas kedaulatannya. Di satu sisi rakyat menyadari diri sebagai pemberi mandat, akan tetapi rakyat lupa memberi batasan pada penerima mandat.

Rakyat perlu disadarkan untuk mengendalikan mandatnya secara penuh. Selain jumawa, rakyat cenderung fanatik kepada anggota legislatif tertentu.

Mudah dihasut dan gampang percaya pada taktik pelangg ngan kekuasaan. Tesis ini beralasan karena beragam diskusi menyoal masa jabatan legislatif, selalu akan dijawab dengan perkataan rakyat
yang menentukan.

Kata-kata ini otomatis menjadi partisi yang membatasi terbukanya ruang diskusi terkait masa jabatan anggota legislatif.

Pembungkaman ini serta merta ikut mengalihkan isu regenerasi parlemen dan asas keadilan menjadi sekadar isu kedaulatan rakyat.

Karena itu apabila ada anggota legislatif menjabat lima periode, maka kebanyakan orang akan menganggap rakyat menghendakinya. Dengan itu tidak ada lagi kemungkinan menyoal masa jabatan anggota legislatif.

Penegasan kedaulatan berada di tangan rakyat benar adanya. Hanya saja bila dicermati penegasan itu kosong dan semu. Kedaulatan demokratis yang ditahktakan pada rakyat ternyata menyesatkan nalar.

Rakyat seolah diberi pakaian kemuliaan akan tetapi sebenarnya suatu pembodohan. Pasalnya, kedaulatan yang disematkan itu dibangun pada fondasi deterministik. Yaitu sebuah pengkondisian yang mengarahkan rakyat untuk memberi mandat pada apa yang telah ditentukan.

Karena itu dalang utamanya bukan rakyat tetapi para kandidat dan partai pengusungnya. Seharusnya selaku pemegang mandat, posisi aktif sebagai dalang diperankan dari, oleh dan untuk rakyat.

Akan tetapi karena telah diambil-alih maka terjadi pemangkasan peran. Unsur dari dan oleh rakyat ditiadakan. Konsekuensinya rakyat hanya diberi doktrin demokrasi bahwa keterlibatan memilih pemimpin adalah kewajiban. Dengan doktrin itu rakyat lalu disodorkan sederetan nama hasil seleksi partai untuk dicoblos.

Inilah determinisme yang dialami rakyat. Mereka dikondisikan untuk memilih apa yang telah disediakan. Conditioning itu secara sugestif dirumuskan dalam narasi etis dan santun. Dan seruan itu terlontar lewat ucapan menolak golput (tidak ikut memilih).

Ungkapan ini secara metaforis menjadi tanda yang memperlihatkan adanya mekanisme politik dibalik proses penjaringan kandidat pemimpin. Dan untuk mendukung mekanisme itu masyarakat cukup diberi mantra moral untuk memilih pemimpin yang telah ditentukan. Kenyataan ini menjadi tanda kedaulatan rakyat sedang dipangkas.

Pengebirian kedaulatan rakyat perlu dipulihkan kembali. Sanjungan yang seolah mengangkat harkat dan menjunjung kedaulatan rakyat perlu dikoreksi.

Karena rakyat hanya diberi label pemberi mandat, tapi dalam praksisnya diposisikan secara pasif. Hal itu terjadi karena rakyat hanya diberi sederetan profil kandidat pemimpin untuk dipilih. Itu berarti prinsip aktifnya justru ada pada pihak kandidat dan partai pengusungnya.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved