Opini
Opini: Membaca Martha dari Rote
Memaknai momentum khronos ini, ada satu catatan reflektif yang dikaitkan dengan film Women from Rote Island.
Oleh : Isidorus Lilijawa
Pegiat media, tinggal di Kupang
POS-KUPANG.COM - Setiap tanggal 8 Maret, kita memperingati Hari Perempuan Internasional.
Arus utama diskursus publik di momentum ini adalah seputar peran perempuan dalam ruang ekonomi, sosial, politik, budaya yang diperhadapkan dengan problem klasik sekitar perempuan seperti diskriminasi, kekerasan, subordinasi.
Memaknai momentum khronos ini, ada satu catatan reflektif yang dikaitkan dengan film Women from Rote Island.
Pada tanggal 22 Pebruari 2024 lalu, untuk pertama kalinya film Women from Rote Island tayang di bioskop. Di NTT, ini menjadi kabar gembira. Maklum, ini film yang dimainkan anak-anak NTT sendiri dengan latar Pulau Rote.
Secara umum, film karya Jeremias Nyangoen dari Bintang Cahaya Sinema dan Langit Terang Sinema ini mengajak penonton untuk memerangi masalah kekerasan seksual dari perspektif perempuan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Film ini meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2023. Salut dan membaggakan!
Saya baru menonton film ini tanggal 5 Maret 2024. Setelah sebelumnya hanya membaca informasi di sosial media. Rasa penasaran tentu ada.
Dalam durasi 1 jam 48 menit, perasaan saya dibikin campur aduk: sedih, marah, lucu, prihatin, iba. Ini kolaborasi perasaan yang berkecamuk sepanjang durasi itu.
Yang langsung membuat saya mengambil jalan refleksi adalah sosok Marta yang diperankan Irma Rihi, anak dari mama Orpa yang dilakoni Linda Adoe. Bagi saya, Martha adalah representasi dari realitas mayoritas Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT.
Dikisahkan, Martha bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja. Martha direkrut oleh Habel di Rote dan dikirim ke bosnya untuk bekerja di negeri Jiran.
Menurut keterangan Habel, Martha sudah pindah bekerja ke majikan lain, sebelum ayahnya meninggal. Orpa, ibunda Martha mati-matian tidak mau menguburkan suaminya, sebelum Martha tiba dari Malaysia.
Dalam penantian yang panjang, bahkan setelah hari ke-8, Martha baru bisa kembali dari Malaysia. Ia tidak membawa apa-apa. Hanya ada yang berubah. Martha terlihat seperti orang depresi. Tatapannya kosong, minus ekspresi.
Setelah pemakaman ayahnya, Martha lebih sering menyendiri. Rasa trauma kadang muncul, yang membuat ibu, adik dan keluarganya heran mengapa Martha bisa seperti itu. Kadang-kadang ia berteriak ketakutan, panik dan menyebut nama Datuk.
Ternyata Martha adalah korban kekerasan seksual majikannya sang Datuk di Malaysia. Rasa sakit hati dan traumanya luar biasa. Namun, di kampungnya Martha dilihat sebagai orang gila, orang aneh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.