Opini

Opini: Membaca Martha dari Rote

Memaknai momentum khronos ini, ada satu catatan reflektif yang dikaitkan dengan film Women from Rote Island.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/ANI TODA
Para pemeran film Women from Rote Island, Linda Adoe, Orpa Padaleti Boling, Boy Leonard dan Yuel Bani saat podcat di studio Pos Kupang pekan lalu. 

Lalu bagaimana dengan PMI illegal alias non prosedural? Bagaimana mereka bisa mengakses RPTC jika status mereka pekerja illegal? Ini perkara kita bersama.

Mungkin saja yang paling penting adalah kerelaan keluarga untuk melaporkan ke pihak-pihak terkait jika ada anggota keluarganya yang berstatus pekerja migran illegal yang mengalami trauma hingga depresi untuk bisa ditangani di RPTC.

Tanpa itu, para pekerja migran semacam Martha yang tidak ditangani kondisi psikis dan traumatiknya, sekali lagi hanya akan menjadi beban bagi keluarga yang kemudian melahirkan diskriminasi-diskriminasi lanjutan di kampung halaman dan menjadi bahan pergunjingan tiada henti para tetangga.

Martha dalam Women from Rote Island adalah teks terbuka yang tidak saja asyik ditonton tetapi harus dibaca dan dimaknai secara arif.

Dalam konteks pekerja migran, kita mesti memastikan bahwa anak-anak kita yang mau menjadi pekerja migran haruslah melalui jalur legal atau prosedural.

Hindarkan diri dari bujuk rayu para calo dengan janji-janji bombastinya. Tuntutan kebutuhan hidup dan gaya hidup kadang-kadang menjadi alasan orang pergi meninggalkan kampung dan mengadu nasib di negeri orang.

Jika melalui jalur prosedural, ini bisa menjadi berkat. Namun, bila nekad melalui jalur tikus dalam bimbingan para calo illegal, bisa saja harapan untuk mendulang hujan emas hanyalah utopia karena yang terjadi sebaliknya, hujan batu.

Selamat merayakan Hari Perempuan Internasional. Selamat membaca Martha dari Rote. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved