Opini

Opini: Membaca Martha dari Rote

Memaknai momentum khronos ini, ada satu catatan reflektif yang dikaitkan dengan film Women from Rote Island.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/ANI TODA
Para pemeran film Women from Rote Island, Linda Adoe, Orpa Padaleti Boling, Boy Leonard dan Yuel Bani saat podcat di studio Pos Kupang pekan lalu. 

Bahkan dalam kondisi semacam itu, Martha lagi-lagi menerima perlakuan kekerasan seksual dari orang-orang di kampung, hingga kemudian hamil dan melahirkan seorang anak. Tidak cuma itu, diskriminasi juga dialami oleh keluarganya.

Bercermin dari Martha

Sepanjang tahun 2023, ada 151 pekerja migran asal NTT yang meninggal di luar negeri. Sebanyak itu pula jumlah peti mati yang kembali ke NTT dan bertaut dengan duka keluarga mereka di kampung halaman.

Di sini, orang-orang hanya bisa menangis dan meratap menyentuh keranda jenazah. Setiap saat seperti itu. Seperti suratan takdir. Impian dan obsesi hati mendulang hujan emas. Apa daya tertimpa hujan batu beruntun hingga meregang nyawa.

Ada PMI asal NTT yang mungkin sedikit beruntung. Mereka kembali ke kampung halaman dengan membawa uang hasil kerja selama di negeri orang. Namun, tidak sedikit pula yang mengalami nasib seperti Martha.

Mereka kembali ke kampung halaman dengan membawa luka batin, beban psikis, trauma mendalam atas kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikis yang dialami selama bekerja di negeri orang.

Apalagi untuk pekerja migran non prosedural atau illegal. Kebanyakan menjadi korban penipuan dan kekerasan. Mereka membawa semua beban itu ke kampung dan akhirnya menjadi beban baru bagi keluarga di kampung.

Trauma yang tak terobati, penderitaan psikis yang akut kemudian melahirkan depresi. Kondisi ini kemudian dimaknai oleh orang-orang di kampung sebagai orang gila. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.

Begitu juga nasib Martha dan pekerja migran NTT lainnya yang saat ini tersandera trauma akut dan depresi. Orang-orang di kampung tidak mencari alasan mengapa Martha menjadi seperti itu.

Apakah telah terjadi sesuatu di tempat kerja. Mereka hanya melihat apa yang mereka lihat di depan mata. Martha aneh, Martha stres, Martha gila.

Sama halnya dengan pekerja migran lainnya yang pulang dalam kondisi stress dan depresi. Cenderung dimaknai sebagai gila atau bisa jadi karena keluarga melanggar norma adat tertentu. Bahkan karena itu ada yang harus dirantai dan dipasung demi menjaga ‘kenyamanan’ tetangga dan kampung.

Butuh Trauma Center

Salah satu kebutuhan penting bagi pekerja migran kita saat ini adalah adanya Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) sebagai tempat penampungan untuk mendapatkan perlindungan sosial dan layanan trauma bagi para pekerja migran, sebelum mereka kembali ke kampung halamannya.

Kementerian Sosial dalam kolaborasi dengan berbagai stakeholder telah menghadirkan RPTC itu di berbagai daerah. Trauma center ini bisa berfungsi sebagai pusat trauma untuk pemulihan traumatik seperti layanan rehabilitasi psikososial dan spiritual.

Namun trauma center ini mengandaikan para pekerja migran itu adalah pekerja yang prosedural karena berbasis database legal.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved