Opini
Ritual Adat Bisa Lerai Lewotobi?
Semua mata menengadah ke langit (kerap dengan tatapan kosong). Malah kerap, meski doa semakin ditingkatkan intensitas, bencana makin menjadi-jadi.
Dengan demikian ketika ada ‘amukan’ alam (seperti gunung meletus), maka ia tidak bisa ditafsir sebagai hukuman dari Tuhan.
Itu terjadi karena alam sendiri yang bisa disebabkan oleh perbuatan manusia atau pada sisi lain oleh umur alam ciptaan yang selalu mengikuti hukum alam. Ia ada dan akan disebut pernah ada karena telah hilang waktunya.
Mengapa otonomi ciptaan perlu dipahami dan bencana dianggap sebagai konsekuensi dari otonomi alam? Karena wajar saja. Bagaimana mungkin, Tuhan (lera wulan tanah ekan) yang begitu indah diciptakanNya, diporak-porandakan sendiri oleh Sang PenciptaNya?
Apakah masuk akal ketika Tuhan begitu ‘marah’ sehingga ia menghanguskan ciptaaNya sendiri?
Pertanyaan ini mengingatkan kita akan wafatnya Mbah Maridjan. Penjaga gunung Merapi yang wafat terpanggang pada 26/10/2010. Mengapa bisa terjadi?
Karena ia (dan media yang terlampau menjadikannya sakti) menganggap alam masih ‘dikontrol’ oleh sesajen.
Penjelasan ini hanya mau menyadarkan bahwa ciptaan memiliki otonomi. Dengan demikian ritual dengan keyakinan setangguh apapun tidak akan melerai bencana karena keduanya tidak ada dalam hubungan saling terkait.
Pemahaman seperti ini tentu sangat menarik meski di sisi lain memiliki celah untuk disalah tafsir. Ada yang berhenti pada pemahaman ini dan langsung mengambil kesimpulan keliru.
Pemahaman tentang otonomi ciptaan dan tidak ada kaitan lagi dengan ‘Sang Pencipta’ membuat orang merasa tidak perlu beragama lagi dan menjadi atheis.
Cara pandang seperti ini perlu dijernihkan. Otonomi ciptaan justru menggambarkan begitu kasih tak bertepi dari Sang Pencipta.
Ia tidak egois seperti manusia pada umumnya yang selalu menjaga agar ciptaanNya tetap berada di bawah kontrolNya. Ia justru memberikan otonomi sekaligus memberikan tanggungjawab pada manusia untuk mengaturnya secara bijaksana.
Di sinilah jawabannya. Adanya bencana alam misalnya tidak bisa dipisahkan dari perbuatan manusia terhadap alam. Tentu perbuatan itu tidak bisa dilihat secara langsung tetapi kerap menjadi akumulasi selama ratusan ribu malah jutaan tahun sebelumnya.
Memang korelasi antara tindakan manusia dan alam dalam arti tertentu seperti banjir bandang akibat deforestasi atau penggundulan hutan, mudah dipahami.
Pada kasus lain seperti gunung meletus, tidak mudah dicari korelasi untuk menjelaskan akumulasi tekanan dalam kawah atau ruang magma, lelehan batuan pada kerak bumi, atau akumulasi penumpukkan gas yang menjadi sebab meletusnya gunung.
Yang mungkin bahwa proses meletusnya gunung bisa dicari penjelasannya sebagai konsekuensi sebuah ciptaan yang ada dalam ruang dan waktu. Ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk mati dan menjadi tidak ada.
Baca juga: Erupsi Lagi, Gunung Lewotobi Laki-laki Lontarkan Abu Setinggi 700 Meter
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.