Opini
Opini Andre W Koreh: Fenomena Kegagalan Bangunan dan Potensi Kriminalisasi
Opini Andre Koreh: fenomena kegagalan bangunan, potensi kriminalisasi jika gagal paham dan salah prosedur
POS-KUPANG.COM - Semangat memberantas korupsi layak didukung semua pihak sepanjang perbuatan melawan hukumnya jelas dan diniatkan oleh pelaku.
Terdapat setidaknya dua alat bukti yang merugikan keuangan negara, menguntungkan diri sendiri , orang lain, perusahaan dan atau korporasi .
Akhir-akhir ini muncul pemberitaan tentang fenomena dugaan tindak pidana korupsi dengan dalil terjadi kegagalan bangunan yang mengakibatkan kerugian negara dengan basis perhitungan teknis kerugian keuangan negara oleh tim ahli dari kalangan akademisi.
Berdasarkan perhitungan tim ahli akademisi, terjadi potensi kegagalan bangunan yang dipakai auditor negara, BPK, BPKP, sebagai dasar menghitung potensi kerugian negara.
Dan, kesimpulan inilah yang dipakai penyidik dalam dakwaan, bahwa telah terjadi “total lost “( kerugian menyeluruh ) dimana nilai kerugian negara yang terjadi sama atau hampir sama dengan nilai kontrak pekerjaan.
Setidaknya ada 3 kasus yang muncul di media : 1. Kasus Kegagalan Bangunan Irigasi Mnesatbatan di TTU - NTT ( Tiga Terdakwa Kasus Korupsi Irigasi Mnesatbatan TTU Diganjar 2 Tahun Penjara)
2. Kasus Kegagalan Bangunan IKH Marapokot Kabupaten Ende - NTT ( Pasutri di NTT Terlibat Korupsi Proyek Instalasi Karantina Hewan, Begini Perkembangan Kasusnya - NTT Express ); dan 3. Kasus Kegagalan Bangunan Persemaian Modern Di Labuhan Bajo - NTT ( 5 Orang Jadi Tersangka Kasus Korupsi Proyek Persemaian Modern di Labuan Bajo) yang jumlah kerugian negaranya sama atau hampir sama dengan nilai kontrak ( total lost ).
Baca juga: Putusan Perkara Tipikor Peningkatan Jaringan Irigasi Mnesatbatan, Terdakwa Dihukum 2 Tahun Penjara
Agar tidak terjadi bias pemahaman, sebaiknya pahami dulu definisi kegagalan bangunan dalam dua UU Jasa Konstruksi.
Dalam UU Jasa Konstruksi (yang lama ) No. 18/1999, pengertian kegagalan bangunan adalah sebagai berikut:
“Sebagai keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi dengan baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa.”
Pasal ini sering digunakan penyidik untuk menjerat masyarakat jasa konstruksi, dan sering pula terjadi kriminalisasi yang cukup mengganggu, sehingga UU ini direvisi menjadi UU Jasa Konstruksi yang baru, menjadi UU No. 2/ 2017.
Dalam UU Jasa Konstruksi ( yang baru/hasil revisi ) No. 2/ 2017, kegagalan bangunan diberikan arti sebagai berikut:
“Suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi.”
Baca juga: Sidang Perdana Kasus Dugaan Korupsi Pengerjaan Irigasi Mnesatbatan, Ini Penjelasan Jaksa
Dari dua UU ini, terdapat perbedaan yang cukup mencolok walau terdapat pula beberapa persamaan pertanggungjawaban untuk pelaku jasa konstruksi , terutama dalam penerapan sanksi, dalam hal : a).sanksi penggantian/perbaikan bangunan b). Sanksi Ganti rugi, c). Sanksi Pidana dan , d). Sanksi administrasi.
Dalam UU 18/1999, tidak ada sanksi penggantian dan perbaikan bangunan, sementara dalam UU 2/2017, dikenakan sanksi penggantian dan perbaikan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan penyedia jasa ( pasal 63).
Dalam hal ganti rugi, baik UU 18/1999 ( psl. 26) maupun UU 2 / 2017 ( psl 67 ). Pelaku jasa konstruksi dapat dikenakan sanksi ganti rugi.
Dalam hal sanksi pidana, ini yang paling mencolok perbedaannya, di UU 18/1999 pelaku jasa konstruksi dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda 5-10 persen bagi pelaku jasa konstruksi yang melakukan kesalahan ( psl. 43 ).
Sementara dalam UU 2/2017, tidak ada pasal pemberian sanksi pidana bagi pelaku jasa konstruksi sebagai akibat dari kondisi kegagalan bangunan yang terjadi.
Yang ada hanya sanksi administrasi yang dalam UU 18/1999 sebelumnya tidak begitu jelas mengatur sanksi administrasi.
Baca juga: BREAKING NEWS: Kejati NTT Tetapkan 5 Tersangka Korupsi Persemaian Modern di Labuan Bajo
Namun dalam UU 2/2017, dengan jelas memberi sanksi administrasi kepada pelaku jasa konstruksi yang mengakibatkan kegagalan bangunan berupa : peringatan tertulis, denda administratif, penghentian sementara kegiatan layanan jakon, pencantuman dalam daftar hitam , pembekuan ijin, dan atau pencabutan izin (Psl. 98).
Selanjutnya, untuk menilai terjadinya kondisi kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud UU 2/2017, Menteri PUPR RI sebagai pembina jasa konstruksi menerbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penilai Ahli, Kegagalan Bangunan, dan Penilaian Kegagalan Bangunan, dimana tahapan penilaian terjadinya kondisi kegagalan bangunan ( psl. 24 ) adalah : a. Pelaporan kejadian kegagalan bangunan , b). Penugasan penilai ahli ,c). Pembuatan perjanjian kerja ,d). Pelaksanaan penilaian kegagalan bangunan dan e). Pelaporan Hasil Penilaian .
Dari mekanisme tahapan ini, pertanyaannya sudahkah prosedur ini dilakukan pada semua kasus dugaan Tipikor seperti yang disebut di atas sehingga penyidik berkesimpulan telah terjadi kegagalan bangunan dan terjadi total lost atau kerugian menyeluruh ?
Baca juga: Bupati Edi Endi Akan Koordinasi ke KLHK Terkait Pembangunan Persemaian Modern Labuan Bajo
Sudahkah pelaporan dilakukan kepada Menteri PUPR bahwa telah terjadi potensi atau risiko kegagalan bangunan, dan siapakah Penilai Ahli yang bersertifikat sesuai kompetensi dan objek pemeriksaan, yang ditugaskan Menteri PUPR melalui LPJK untuk menilai kondisi bangunan ? Apakah sudah ada perjanjian kerja antara Penilai Ahli dengan Pengguna Jasa untuk menilai kondisi kegagalan bangunan ? Dan apakah pelaksanaan penilaian kegagalan bangunan sudah dilakukan sesuai standar keteknikan, baik secara struktural maupun fungsional bangunan? Dan apakah laporan hasil penilaian kegagalan bangunan yang dipakai sebagai dasar untuk mendakwa para pelaku jasa konstruksi, sudah melalui prosedur dan tahapan proses yang benar sesuai ketentuan yang belaku, dan apakah pembuatnya adalah seorang Penilai Ahli, yang memiliki kompetensi dan memiliki sertifikat kompetensi sesuai objek yang akan diperiksa?
Semua pertanyaan di atas menggambarkan bahwa, menetapkan suatu bangunan telah mengalami kondisi kegagalan bangunan, apalagi dinyatakan sebagai keadaan total lost, tidaklah dengan serta merta bisa dijadikan dasar perbuatan melawan hukum yang berindikasi korupsi , hanya dengan berdasar pada perhitungan teknik sepihak Tim Ahli ( bukan penilai ahli ) dan sudah merugikan keuangan negara sebagaimana dimaksud pasal 2 dan 3 , UU No. 19 /2019 tentang Tipikor.
Apalagi dasar perhitungan kerugian negara belum tentu dilakukan sesuai mekanisme dan prosedur yang benar, dan apakah telah dilakukan oleh Penilai Ahli yang berkompeten, bersertifikat dan mendapat penugasan Menteri PUPR melalui LPJK?
Jika seluruh proses telah dilaksanakan dan dalam Pelaporan Penilaian Hasil, Penilai Ahli berkesimpulan telah terjadi kegagalan bangunan, UU 2 /2017 tentang Jasa Konstruksi, tidak memberi sanksi pidana kepada pelaku jasa konstruksi, namun sanksi yang diberikan adalah sanksi ganti rugi, denda, dan sanksi administrasi yang kesemuanya jika diterapkan kepada para pihak yang paling bertanggung jawab, maka potensi kerugian negara yang diduga bakal terjadi, ataupun sudah terjadi, menjadi tidak terjadi karena telah dikenakan sanksi ganti rugi, penggantian bangunan, denda dan sanksi administrasi lainnya.
Oleh karena itu harus dipahami dengan baik, apa itu kegagalan bangunan, bagaimana prosedur untuk menyatakan terjadi kegagalan bangunan, keterlibatan para penilai ahli sesuai kompetensinya dan apakah sanksinya sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Baca juga: Proyek Pembangunan Persemaian Modern Labuan Bajo KLHK, Ini Komentar Anggota DPRD Mabar
Patut diduga, yang terjadi di kasus kasus-kasus diatas adalah “hanyalah “ kegagalan konstruksi dan bukan “kegagalan bangunan “ karena kondisi yang ditemukan oleh tim ahli, beberapa bagian pekerjaan yang dikerjakan, belum sesuai spesifikasi teknis sebagaimana definisi kegagalan pekerjaan konstruksi yaitu: “ keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa( PP. 29/2000 pasal 31 tentang Penyelenggaran Jasa Konstruksi ).“
Atau terjadi kondisi lain, penyidik belum paham atau setidaknya mengalami bias pemahaman, dimana UU No. 18/1999 Tentang Jasa Konstruksi yang ada sanksi pidananya, sudah mengalami perubahan menjadi UU. No. 2/2017 tanpa sanksi Pidana, sehingga perjanjian kerja( kontrak kerja ) antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa setelah berlakunya UU 2/2017, bersifat perdata. Artinya , jika ada pekerjaan yang volumenya kurang , mesti ditambahkan, yang berkualitas buruk, diperbaiki dan bahkan penggantian bangunan, dan jika mengalami keterlambatan akan dikenakan sanksi denda keterlambatan bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sampai pada pencabutan izin usahanya.
Lebih ironis lagi, kenyataannya, bangunan dimaksud sebagai objek yang dinilai dan disimpulkan terjadi kegagalan bangunan dan dinyatakan sebagai total lost, sudah dimanfaatkan, sudah berfungsi dan tidak terjadi keruntuhan, namun disisi lain para pelaku jasa konstruksi sudah dijerat dengan pasal Tipikor, sudah ditahan, bahkan sudah didakwa.
Dengan demikian, dalil kegagalan bangunan sebagai dasar melakukan dakwaan dan tuntutan pada para pelaku jasa konstruksi, apalagi dilakukan dengan pemahaman materiil yang tidak tepat, prosedur yang keliru,, serta tidak didasari perhitungan teknis yang akurat, tidak melalui uji laboratorium yang benar, dilakukan oleh tim teknik yang tidak memiliki kompetensi yang sesuai objek bangunan, tidak memenuhi kriteria sebagai Penilai Ahli, dan tanpa penugasan oleh Menteri PUPR sebagai pembina jasa konstruksi melalui LPJK, berpotensi terjadinya kriminalisasi pada para pelaku jasa konstruksi .
Kecuali ada dalil lain yang dipakai oleh penegak hukum dan ada alat bukti lain yang digunakan, seperti Operasi Tangkap Tangan ( OTT ), dan atau gratifikasi , mark up harga , tentunya parameter yang digunakan pun menjadi lain.
Benteng keadilan terakhir dalam hal seperti ini adalah Majels Hakim yang mulia, untuk bisa menilai kasus2 tersebut sehingga keadilan sosial bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat khususnya masyarakat jasa konstruksi sebagaimana yang terjadi dalam kasus korupsi Monumen Samudra Pasai Aceh. ( Hakim Perintah Jaksa Keluarkan 5 Terdakwa Korupsi Monumen Samudera Pasai dari Tahanan, Dakwaan Batal - Serambinews.com)
Bukankah ada adagium penegak hukum , “ lebih baik melepas 100 penjahat, daripada menghukum seseorang yang tidak bersalah? “ (Penulis Dr. Ir. Andre W Koreh , MT, IPU, ASEAN Eng: Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah NTT, Ketua Pusat Study Jasa Konstruksi UCB Kupang, Dekan FT UCB Kupang).
Baca Opini Pos Kupang Lainnya
Ikuti berita POS-KUPANG.com di GOOGLE NEWS
Opini Andre Koreh
kegagalan bangunan
kegagalan konstruksi
kriminalisasi
tindak pidana korupsi
Andre Koreh
kerugian keuangan negara
25 September 2023
Opini Pos Kupang
POS-KUPANG.COM
Kanisius Jehola
Menteri PUPR
Opini: Mohon Tenang Sedang Pemilihan Rektor Undana |
![]() |
---|
Opini: Kasus Eks Kapolres Ngada Cacat Hukum atau Cacat Nurani? |
![]() |
---|
Opini: Menolak Normalisasi Eksploitasi Anak Dalam Kasus Mantan Kapolres Ngada |
![]() |
---|
Opini: Mauponggo Terendam, Bencana Banjir di Luar Musim Hujan |
![]() |
---|
Opini: Didik Anak Bukan untuk Nilai Tapi untuk Hidup |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.