Opini
Opini: Banjir Mauponggo, Alarm Terakhir dari Alam yang Terluka
Di permukaan, kita mungkin dengan mudah menyalahkan anomali cuaca, curah hujan yang ekstrem, atau fenomena alam yang alami.
Oleh: Petrus Selestinus Mite
Dosen Fisip-Sosiologi Universitas Nusa Cendana Kupang
POS-KUPANG.COM - Bencana banjir yang melanda Kecamatan Mauponggo 8 September 2025 (Lowo Koke-Desa Sawu, Desa Lokalaba dan lainnya) bukanlah sekadar peristiwa alam biasa yang datang dan pergi bersama surutnya air.
Bencana ini adalah sebuah narasi pilu, sebuah pesan yang terpotong-potong namun sangat jelas dari alam yang sedang merintih kesakitan.
Peristiwa ini harus dibaca bukan sebagai sebuah "musibah" yang berdiri sendiri, tetapi sebagai refleksi ekologis dan puncak dari sebuah gunung es masalah yang telah lama terbentuk: sebuah tragedi ekologis yang merupakan buah dari pola interaksi masyarakat Mauponggo dengan lingkungan alam.
Baca juga: Gunakan Anjing Pelacak, Istri Korban Hilang Cari Sang Suami di Korban Banjir Bandang di Mauponggo
Di permukaan, kita mungkin dengan mudah menyalahkan anomali cuaca, curah hujan yang ekstrem, atau fenomena alam yang alami.
Memang betul, bahwa faktor-faktor tersebut adalah pemicu langsung (the trigger) dari bencana yang tidak terhindarkan ini.
Namun, untuk berhenti di sana bisa jadi adalah kekeliruan analisis yang berbahaya. Hal itu sama saja dengan menyalahkan percikan api untuk kebakaran hutan, sengaja mengabaikan tumpukan jerami kering yang telah disiapkan di sekitarnya.
Pemicunya adalah hujan, tetapi akar masalahnya adalah luka di tubuh bumi Mauponggo itu sendiri.
Pertama, kita harus membongkar mitos "banjir bandang" yang seolah datang tiba-tiba. Air yang mengalir deras dari dataran tinggi (Gunung Ebulobo) bukanlah entitas jahat yang muncul dari ketiadaan.
Ia adalah air yang kehilangan "rumah" dan "penahannya". Daerah tangkapan air (catchment area) di hulu, yang seharusnya berfungsi seperti spons raksasa menyerap, menyimpan, dan melepaskan air secara perlahan kini telah mengalami degradasi parah.
Bisa jadi kita orang Mauponggo (Ata Ma’uponggo) mengubah fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan monokultur atau lahan pertanian yang tidak terasering dengan baik, telah mengubah tanah menjadi lapisan kedap yang hanya bisa meloloskan air dengan cepat, bukan menyimpannya.
Setiap tetes hujan yang jatuh langsung berubah menjadi aliran permukaan (run off) yang menggerus tanah dan berkumpul menjadi kekuatan destruktif di lembah.
Bagian pertama ini harus menjadi refleksi tanpa akhir bahwa hutan dan bumi tidak hanya dieksploitasi hasilnya tapi kita (Ata Ma’uponggo) mesti lebih sering memberi kepada bumi (hutan di bawah kaki Ebulobo) dengan merawat, menanam Kembali setelah kita mengambil begitu banyak hasil dari hutan dan bumi ini.
Kedua, bencana ini bisa jadi adalah cermin dari krisis tata kelola ruang. Bagaimana pola permukiman dan infrastruktur dibangun?
Apakah jalur-jalur aliran air (drainase alam) masih dihormati, atau justru ditutup dan dijadikan lahan pemukiman?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.