Breaking News

Opini

Opini RP Fidel Wotan SMM: Prapaskah Berbalik pada Kerahiman Tuhan

Masa Prapaskah sudah dan sedang dijalani oleh orang Kristen Katolik, terhitung mulai Rabu Abu yang ditandai dengan penerimaan abu di dahi.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/ELISABETH EKKESIA MEI
RABU ABU - Umat berbondong-bondong menerima abu saat mengikuti misa rabu abu di Gereja Sta. Familia Sikumana, Rabu 22 Februari 2023. RP Fidel Wotan SMM menulis opini, Prapaskah: Berbalik pada Kerahiman Tuhan. 

Hidup “sedekah/amal, doa dan puasa” adalah sarana persiapan rohani untuk kematian jasmani. Seorang Kristiani akan dapat menyambut Kebangkitan-Nya, tidak hanya secara rohani, tetapi juga secara jasmani.

Momen Pembersihan Diri

Masa Prapaskah bagi orang Kristen Katolik adalah momen “pemurnian diri”, sebuah kondisi untuk membenahi diri. Masa Prapaskah sudah dan sedang dijalani oleh orang Kristen Katolik, terhitung mulai Rabu Abu yang ditandai dengan penerimaan abu di dahi.

Sebagai pengikut Kristus, setiap orang Kristen dipanggil untuk sungguh-sungguh mengikuti-Nya dengan berani melakukan silih atas dosa-dosanya: berpantang dan berpuasa. Apabila orang Kristen berpuasa, maka sebetulnya di situ ia mengikuti pola-pola alkitabiah yang konsisten, misalnya, Musa dan Elia berpuasa sebelum pergi menghadap Allah (bdk. Kel 34:28; I Raj 19:8).

Demikian juga Nabiah Hana, berpuasa untuk mempersiapkan diri menyongsong kedatangan Mesias (bdk. Luk 2:37). Yesus juga berpuasa (bdk. Mat 4:2), meskipun Ia tidak butuh pembersihan (pemurnian) diri. Sebetulnya kalau orang Kristen berpuasa, maka hal itu dihayati karena ada kesadaran bahwa ia telah berdosa.

Baca juga: Opini Samsul Hidayatulah: NIK Jadi NPWP Wujud Reformasi Perpajakan

Dari sebab itu, jikalau orang bertanya mengapa Yesus yang tidak berdosa, harus berpuasa? Tentu saja Yesus sama sekali tidak berdosa dan karenanya dia tidak perlu pemurnian diri-Nya lewat puasa dan pantang.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya, Dia berpuasa. Yesus justru berpuasa karena ada suatu nilai yang berharga di balik tindakan-Nya itu.

Dia justru mau “memberi teladan kepada setiap pengikut-Nya”. Ia sangat mengharapkan agar setiap umat Kristiani dapat mengikuti teladan-Nya, jika mereka masih mau memverifikasi dirinya sebagai pengikut-Nya. Yesus berkata: “Apabila kamu berpuasa,” kata-Nya, “Janganlah muram mukamu seperti orang munafik” (Mat 6:16).

Puasanya orang Kristen Katolik harus lahir dari semangat kedisiplinan yang tinggi sebagaimana yang diharapkan Gereja. Salah satu contoh sederhana, soal menerima komuni, di mana orang harus berpuasa selama satu jam sebelum menerima komuni suci.

Menurut Scott Hahn dalam bukunya Signs of Life (Dioma, 2011), sikap tersebut merupakan suatu pengurbanan kecil, tapi puasa seperti ini mampu membangkitkan suatu “rasa lapar sakramental” dalam diri seseorang -tidak hanya soal rasa lapar akan Sakramen Ekaristi- tetapi juga rasa lapar yang dengan sendirinya merupakan tanda lahiriah dari suatu realita spiritual: kerinduan kita untuk bersatu dengan Tuhan.

Sungguh, inilah sebabnya para rasul berpuasa ketika mempersiapkan liturgi (Lih. Kis 13:2-3). Dengan demikian, puasa semacam ini adalah sebuah perjalanan jiwa yang rindu untuk bersatu secara erat dengan Yesus Kristus.

Dengan berpuasa, orang Kristen memandang dan “memeluk” Allah sebagai satu-satunya yang perlu dan nilai tertinggi dalam hidupnya.

Baca juga: Opini Yohanes Mau: Hapuslah Air Mata Turki dan Suria

Transformasi Diri pada Masa Puasa

Setiap tahun orang Kristen Katolik dituntut untuk wajib puasa pada dua hari yakni, hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Tuntutan dasarnya ialah ia hanya boleh makan kenyang satu kali, dan makan kenyang itu tidak boleh melebihi kedua makan yang lain bersama-sama.

Pada hari-hari tersebut, Rabu Abu, Jumat Agung dan semua hari Jumat selama masa Prapaskah, mereka tidak boleh makan daging (bdk. Kan 1251).

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved