Opini

Opini Albertus Muda S.Ag: Pendidikan, Pengajaran dan Kekerasan

Suasana rumah tidak lagi nyaman dan menyenangkan. Sekolah sebagai salah satu medium pendidikan karakter pun belum memberi rasa aman sepenuhnya.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM
Albertus Muda, S.Ag, Guru Honor SMA negeri 2 Lewoleba, Kabupaten Lembata. Koordinator Festival Literasi Daerah Lembata-Nusa Tenggara Timur ini menulis Opini: Pendidikan, Pengajaran dan Kekerasan. 

POS-KUPANG.COM - Kasus kekerasan akhir-akhir ini semakin santer diberitakan media massa. Kegalauan melanda anak-anak karena pelaku tindak kekerasan adalah guru dan orang tua juga orang dewasa.

Suasana rumah tidak lagi nyaman dan menyenangkan. Sekolah sebagai salah satu medium pendidikan karakter pun belum memberi rasa aman sepenuhnya.

Guru sebagai pengajar dan pendidik kerap menebar ancaman sehingga mengusik ketenangan dan kenyamanan peserta didik. Kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah dan rumah cenderung membuat anak mengalami rasa tertekan.

Akibatnya, timbul sikap agresif dalam diri anak, panik,  gelisah, rendah diri, murung hingga memicu anak enggan ke sekolah.
Sudahkah Membebaskan? Kenyataan di atas mau menunjukkan bahwa konteks pendidikan dan pengajaran kita belum bebas sepenuhnya dari belenggu kekerasan.

Henry JM Nouwen dalam bukunya & 39 Pelayanan yang Kreatif (1986) mengatakan, suasana pengajaran kita masih sering diwarnai kekerasan. Menurutnya, pendidikan sebagai sebuah pelayanan bukan pertama-tama karena apa yang diajarkan, melainkan hakikat proses pengajaran itu sendiri.

Para guru dan pendidik hendaknya menyadari bahwa unsur yang paling penting adalah hubungan dalam pengajaran tanpa mengabaikan isi pengajaran. Akan tetapi, faktanya tidaklah demikian, sebab isi pengajaran lebih diutamakan.

Baca juga: Opini Arnoldus Wea: Reba, Po Gege dan Milenial

Konsekuensinya, suasana pengajaran diwarnai kekerasan. Oleh karenanya, kita sepantasnya memahami ciri pengajaran yang diwarnai kekerasan.

Nouwen mengemukakan tiga ciri pengajaran yang diwarnai kekerasan. Pertama, persaingan. Ciri dianggap paling dominan dan merusak. Mengapa? Karena cara para siswa memandang teman-teman, mengharapkan nilai, mempersiapkan ujian dan mengerjakannya, semuanya diwarnai persaingan. Pengetahuan bukan lagi merupakan anugerah yang mesti dibagirasakan, melainkan sebuah milik yang mati- matian dipertahankan.

Kedua, pengajaran satu arah. Ciri ini cenderung berimplikasi pada mandulnya daya kritis, kreativitas, kemampuan bertanya, dan kerja sama siswa. Ruang dialog partisipatif sangat jarang bahkan tidak ada.

Proses ini oleh Paulo Freire menyebutnya sebagai model Pendidikan bermekanisme bank tradisional. Anak ibarat celengan kosong yang hanya bisa diisi. Artinya anak dijejali dengan berbagai ilmu dan doktrin tanpa perlu bertanya.

Ketiga, mengasingkan. Persaingan dan gaya mengajar satu arah menyebabkan suasana kelas tampak asing bagi siswa. Apalagi sekolah belum sepenuhnya dialami sebagai tempat hidup bersama.

Konsekuensinya, banyak murid merasa jenuh, bosan selama pelajaran berlangsung dan memilih bolos sebelum bel akhir sekolah berbunyi. Lambat laun permusuhan tersembunyi pun tumbuh antara guru dan murid, orang tua dan anak.

Baca juga: Opini Samsul Hidayatulah: NIK Jadi NPWP Wujud Reformasi Perpajakan

Kesalahan Pendisiplinan

Selain persaingan, pengajaran satu arah dan pengasingan, ada juga bentuk kekerasan yang dikenal sebagai kesalahan mendisiplinkan anak. Tanpa disadari kesalahan tersebut memicu kekerasan. A. Mintara Sufiyanta (2011) menyebutkan sepuluh bentuk kesalahan yang sering dilakukan guru dan orang tua ketika berupaya mendisiplinkan anak.

Sepuluh kesalahan berpengaruh signifikan bagi perkembangan kognitif dan sosial anak. Pertama, membentak. Kedua, menuntut tindakan segera. Ketiga, mengomel.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved