Opini
Opini RP Fidel Wotan SMM: Prapaskah Berbalik pada Kerahiman Tuhan
Masa Prapaskah sudah dan sedang dijalani oleh orang Kristen Katolik, terhitung mulai Rabu Abu yang ditandai dengan penerimaan abu di dahi.
POS-KUPANG.COM - Pada hari “Rabu Abu” segenap umat Katolik menandai dirinya dengan “abu” di kepala (dahi) sebagai tanda “pertobatan” sekaligus tanda yang menunjukkan identitas diri manusia Kristiani sebagai “makhluk yang lemah dan rapuh” di hadapan Allah.
Dari sudut pandang teologi biblis, penggunaan “abu” di sini memiliki makna ganda. Pertama, tanda kelemahan dan kerapuhan kondisi hidup manusia. Dalam Kej 18:27 Abraham menyahut: “Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu.”
Dari pengalaman tragis yang dialami Ayub, ia sendiri menyadari batas terdalam dari eksistensinya sendiri dengan menegaskan demikian: “Ia telah menghempaskan aku ke dalam lumpur, dan aku sudah menyerupai debu dan abu.”
Dalam banyak bagian lainnya dari Alkitab dimensi kerapuhan, keterbatasan hidup manusia yang bisa dilambangkan dengan abu dapat dijumpai dalam Keb 2:3; Sir 10:9; 17:27.
Kedua, tanda nyata (eksternal) pertobatan seseorang dari perbuatannya yang jahat dan memutuskan untuk melakukan suatu ziarah baru menuju Tuhan yang Maharahim.
Ungkapan Indonesia, “Rabu Abu” diambil dari Bahasa Latin: Feria quarta cinerum (Inggris: Ash Wednesday) dalam liturgi dipahami sebagai Hari Rabu sebelum Minggu Pertama Prapaskah.
Baca juga: Opini Bernadus Badj: Konsep Pembangun dalam Perspektif Peter L Berger
Dikatakan bahwa dalam Gereja-gereja Katolik ritus Roma dan Komunitas Reformasi, serta banyak Gereja Protestan, hari khusus ini dipandang bertepatan dengan awal dari Prapaskah itu sendiri, yakni hari pertama dari suatu periode liturgi yang “kuat” berciri “pembaptisan dan pertobatan” sebagai momen persiapan untuk perayaan Paskah Kristiani.
Itulah sebabnya, mengapa pada hari ini, semua umat dari berbagai ritus Latin diwajibkan untuk melakukan penebusan dosa dan menjalankan puasa dan pantang daging.
Berkenaan dengan ini, ada tradisi berupa perayaan karnaval selama beberapa hari (tujuh hari) yang disebut sebagai “il martedì grasso” (Shrove Tuesday) yang mendahului perayaan Rabu Abu. Dengan dimulainya Rabu Abu, umat Kristiani memulai apa yang disebut dengan “Prapaskah”.
Masa Prapaskah pada hakikatnya merupakan periode yang mendahului dan mempersiapkan Triduum Paskah, puncak dan sumber dari semua kehidupan Kristiani dan perjalanan imannya.
Seorang Kristiani tidak pernah memahami makna Natal hanya kecuali ia dapat memahaminya dalam terang peristiwa Paskah Wafat dan Kebangkitan Tuhan.
Selama Prapaskah, setiap umat beriman Kristiani dipanggil untuk “bertobat kepada Tuhan”: berbalik arah; menjauhi yang buruk dan jahat, saat tampan untuk semakin mendekatkan diri secara lebih intens dengan-Nya. Ringkasnya, ia dipanggil untuk ber-metanoia.
Baca juga: Opini Albertus Muda S.Ag: Pendidikan, Pengajaran dan Kekerasan
Di sini, seorang Kristiani didorong untuk berani masuk ke dalam pengalaman rohani “padang-gurun”. Pada masa 40 hari “padang gurun” inilah, ia terpanggil pula untuk mewujudkan tiga hal penting dan mendasar yakni, PUASA, DOA DAN AMAL terhadap orang lain.
Tidak akan ada “pengalaman Kerahiman” yang sejati jikalau seorang Kristiani tidak mengenali “kemalangan, keterbatasan atau kerapuhannya” sebagai manusia yang berdosa, dan tidak membuka dirinya pada Tuhan.
Masa Prapaskah pada dasarnya membantu umat Kristiani untuk mempersiapkan bentuk terbesar dari cinta, pemberian diri dan penemuan kembali kehidupan manusiawinya yang terintegrasi pada Kehidupan Kekal.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.