Opini
Opini Samsul Hidayatulah: NIK Jadi NPWP Wujud Reformasi Perpajakan
Ketentuan NIK menjadi NPWP tentu saja akan mempermudah petugas pajak dalam penggalian potensi pajak.
Pada dasarnya, penerapan NIK menjadi NPWP tidak serta merta semua warga negara membayar pajak. Hal tersebut sudah diamanatkan menurut Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) pasal 2 ayat (1) yang berbunyi:
“Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.”
Selain itu, faktor lainnya adalah banyaknya wajib pajak yang terdaftar tidak sebanding dengan petugas yang melakukan pengawasan.
Satu orang petugas pajak bisa mengawasi sampai seribu wajib pajak atau lebih. Begitu sulit petugas pajak mencari, merekam, dan menghitung potensi pajak yang ada.
Baca juga: Anggota Polri Antusias Pemadanan NIK menjadi NPWP
Ketentuan NIK menjadi NPWP tentu saja akan mempermudah petugas pajak dalam penggalian potensi pajak. Namun bukan berarti tidak mempunyai tantangan baru.
Akan ada banyak sekali transaksi yang terekam oleh sistem dan menjadi data DJP dalam pengawasan. DJP harusnya sudah menyiapkan sistem baru dalam penerapan ketentuan NIK menjadi NPWP.
Setiap wajib pajak yang mempunyai penghasilan di atas ketentuan akan terekam dalam pengawasan DJP. Jika data tersebut dikelola dengan baik, potensi besar bagi DJP dalam menghimpun penerimaan negara.
Pengadministrasian transaksi akan terekam dengan Lebih baik dan lebih detil lagi. Tetapi sangat disayangkan jika data yang sudah ada tidak dapat diolah dengan baik, data yang begitu besar tersebut hanya akan menjadi data mentah saja.
Penerapan kebijakan yang memudahkan, harus dibarengi dengan pengawasan yang lebih efektif. Mempermudah administrasi berarti juga memperkuat proses pengelolaan data administrasi perpajakan.
Reformasi perpajakan menjadi kunci dalam kesuksesan pengawasan perpajakan. Salah satunya adalah digitalisasi proses bisnis.
Semenjak covid-19 melanda, DJP melakukan digitalisasi proses bisnis administrasi perpajakan. Berbagai macam bentuk urusan administrasi perpajakan dapat dilayani tanpa tatap muka. Konsep Click(situs web), Call(telepon: Kring Pajak 1500200), andCounter (loket) diusung DJP sebagai strategi dalam mencapai penerimaan pajak.
Baca juga: Bank Mandiri Dukung Ditjen Pajak Kembangkan NPWP 16 Digit
Digitalisasi proses bisnis tentu sangat mempermudah wajib pajak. Dengan kemudahan tersebut, tentu saja sangat berpengaruh pada peningkatan rasio pajak (TaxRatio). Semakin tinggi rasio pajak, semakin bagus dan andal penerimaan negara yang dicapai.
Meningkatnya taxratio dari tahun ke tahun menandakan hal yang positif. Dilansir dari pajak.go.id, Rasio Pajak adalah perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio ini merupakan alat ukur untuk menilai kinerja penerimaan pajak suatu negara.
Tahun 2020, taxratio pada level 8,33 persen dari PDB. Pada tahun 2021 meningkat menjadi 9,11 % . Sedangkan pada tahun 2022 meningkat tajam pada level 10,4