Opini

Opini : Membaca Arah Transformasi Pendidikan Nadiem Makarim

Seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945, maka pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk dapat mencapai mutu kualitas pendidikan di Tanah Air.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO-YOGEN SOGEN
Founder Jaringan Millenial Nusantara Yogen Sogen, penulis opini Membaca Arah Transformasi Pendidikan Nadiem Makarim. 

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Aan Widiyono dan Izzah Millati, dalam perspektif merdeka belajar di era 4.0 peranan tekonologi pendidikan sangatlah berpengaruh dalam hal memberikan kemudahan dalam menjalankan program merdeka belajar secara nyata, tidak sekedar pada perencanaan ataupun proses tetapi pada tataran pengelolaan, pemanfaatan, pengembangan, beserta tahap penilaian.

Teknologi yang hadir dalam kehidupan manusia dari hari ke hari terus mengalami perkembangan dengan begitu cepat dan pesat. Kehadirannya dalam kehidupan manusia turut berpengaruh dalam aspek, aktivitas, tindakan, serta perilaku manusia (Ngafifi, 2014). Bahkan kehadiran teknologi turut serta menjadi gejolak bagi manusia agar terus beradaptasi dengan berbagai macam bentuk yang terbaru.

Gejolak untuk beradaptasi terhadap kehadiran teknologi baru bagi manusia yang mempunyai kesibukan dan aktivitas sangat tinggi tentu menjadi tantangan tersendiri.

Bagi kalangan usia tua akan sangat kesulitan dan membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi, berbeda halnya dengan kalangan generasi muda yang selalu bergantung terhadap teknologi maka proses beradaptasi begitu mudah dan cepat.

Perspektif antara yang tua dan muda dalam memandang kehadiran teknologi sesungguhnya telah terjadi menjadi pro dan kontra.

Ketimpangan pendidikan nasional juga memiliki korelasi erat dengan kesenjangan digital. Data yang dikumpulkan oleh badan riset SMERU Indonesia mencatat bahwa hingga 2019, lebih dari 50 persen penduduk perkotaan telah mengakses internet. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan pengguna internet diperdesaan yang hanya sekitar 30 % .

Baca juga: Opini : Anomali Demokrasi Digital

Muhajir (2020) menyatakan bahwa keadaan pandemic semakin menunjukkan kesenjangan digital (digital divide) yang makin lebar di masyarakat. Kesenjangan tersebut akhirnya menghasilkan ketimpangan pendidikan itu sendiri.

Dengan pembelajaran daring, siswa miskin dan yang tinggal di daerah pedalaman serta terluar sulit mengakses pembelajaran karena ketiadaan sarana TIK dan kesulitan mendapatkan sinyal internet.

Pernyataan Muhajir tersebut dapat ditemukan di SD Inpres Hulu Atas Kecamatan Airu, Kabupaten Jayapura memiliki siswa laki-laki 61 orang dan siswa perempuan 46 orang, dengan jumlah guru 6 orang dan Kepala Sekolah bernama Loth Yansip, S.Pd.
SD Inpres Hulu Atas merupakan sebuah sekolah yang letaknya paling jauh dan berada di pedalaman Kabupaten Jayapura.

Fransiskus Liko Sogen, guru di sekolah tersebut kepada penulis menceritakan, sekolahnya hingga saat ini belum memiliki akses internet.

Selain itu, rata-rata murid di sekolahnya tidak memiliki keterampilan penggunaan teknologi yang terbatas, karena tidak pernah menggunakan perangkat teknologi seperti android, laptop, dan sebagainya.

Persoalan ini diperparah dengan terbatasnya sinya, karena daerah sulit sinyal bahkan kadang tidak memiliki sinyal sama sekali. Jika adapun mereka harus ke lokasi yang lebih tinggi dengan medan tempuh yang tidak semulus daerah perkotaan dengan jarak berkilometer. Kadang mereka harus memanjat pohon atau naik ke atas gunung atau bukit untuk mendapatkan sinyal.

Keresahan Fransiskus menggambarkan bahwa ditengah gencarnya arus teknologi 4.0 dan 5.0 dan ekosistem pendidikan yang serba digital, masih terdapat ketimpangan pendidikan yang menghambat transformasi pendidikan karena belum meratanya pembangunan di wilayan Indonesia yang luas ini.

Menurut Fransiskus, untuk mengatasi persoalan dan kendala akses internet, ia bersama para guru memaknai Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Menteri Nadiem Makarim sebagai kebebasan berekspresi, yakni bersama para murid belajar di alam terbuka.

“Kami memaknainya (red: merdeka belajar) sebagai bentuk kekebasan berekspresi, bersama para murid belajar dengan alam, di bawah rindang pepohonan, lapangan terbuka, sambil bernyanyi, berhitung, belajar membaca, intinya membebaskan mereka dari tekanan di dalam kelas yang kaku dan mendekatkan siswa bersama alam. Dari alam mereka belajar menggali pengetahuan.” ungkap Fransiskus Sogen.

Baca juga: Opini : Memperkuat Imunitas Bahasa Daerah

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved