Opini Pos Kupang

Jangan Bunuh KPK

Tes Wawasan Kebangsaan ( TWK) bagi Pegawai KPK menuai polemik. 75 pegawai lembaga antirasuah dinyatakan tidak lulus TWK

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Jangan Bunuh KPK
DOK POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Ditengah demokratisasi yang kita temukan adalah gejolak "Rezim berubah, korupsi sinambung". Korupsi tetap berjangkit hebat dari level teratas hingga terbawa birokrasi, ia menjadi penyakit yang diidap kalangan politisi, pejabat public yang dipilih dan berbagai institusi publik lainnya.

Kilas balik

Ada beberapa dugaan dari penulis mengapa mahasiswa begitu getol menolak direvisinya undang-undang KPK teristimewa pasal yang mengatur tentang Dewan Pengawas.

Pertama; dalam revisi undang-undang KPK mengatur bahwa penyadapan, penyitaan dan penggeledhan harus atas ijin Dewan Pengawas. Memang pasal ini disatu sisi menempatkan Dewan Pengawas memiliki kekuatan "pengimbang" dalam urusan pemberantasan korupsi tetapi dilain sisi para mahasiswa mungkin takut akan adanya potensi tarik menarik kepentingan apabila kasus korupsi melibatkan perseteruan kepnetingan politik para elit yang pada akhirnya kasus tersebut tidak diselesaikan dengan baik, transparan dan tuntas.

Kedua; apabila ke depan peran Dewan Pengawas tidak independen maka mahasiswa punya ketakitan akan melemahnya demokrasi. KPK yang diberi peran untuk berantas korupsi tetapi ruang gerak dibatasi dengan harus meminta ijin kepada Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan.Kondisi ini berpotensi melemahkan semangat reformasi yang diperjuangkan oleh mahasiswa tentang upaya pemberantasan korupsi secara total.

Ketiga; Dewan Pengawas ditentukan oleh Presiden, hal ini oleh mahasiswa punya keraguan akan independensi. Karena bukan rahasia umum dalam setiap proses seleksi pejabat publik ada potensi bargaining politics bakal terjadi. Kecendrungannya yang terpilih sebagai Ketua Dewan Pengawas adalah mereka yang dipastikan dapat "bekerjasama" atau tidak mengusik kepentingan para elite

Keempat; rupanya mahasiswa membaca adanya upaya yang berpotensi melemahkan KPK. Menurut Febri Diansyah dalam artikelnya berjudul "Sinyal delegitimasi KPK" beliau menggambarkan "Sejarah delegitimasi lembaga anti korupsi , seperti KPK merupakan pola berulang.

Berdasarkan catatan ICW sudah tujuh institusi pemberantasan korupsi patah tumbuh hilang berganti. Emapt diantaranya sengaja dimatikan setelah dicoba agak keras menyeret penguasa dengan delik korupsi (Kompas 7/5/2009). Pertama, Keppres No. 228/1967 membentuk Tim Pemberantas Korupsi.

Kedua, 31 Janauari 1970, lewat Keppres No. 12/1970 dibentuk Tim Komisi Empat. Ketiga, pada tahun yang sama diusung nama baru, Komite Anti Korupsi. Keempat, tahun 1977 muncul Inpres No. 9/1977 tentang Tim Opstib.

Kelima, tahun 1982 Tim Pemberantas Korupsi diaktifkan kembali meski Keppres yang mengatur tugas dan wewenang Tim ini tidak pernah diterbitkan.Keenam, melalui Keppres No. 127/1999 dibentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara.

Ketujuh, berdasarkan PP No.19/2000 dikukuhkan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ". Dari sejarah ini mahasiswa takut jangan-jangan KPK mengalami nasib yang sama.

KPK memang menakutkan bagi setiap orang yang korupsi, namun kehadirannya adalah "pembela bagi rakyat". Karena itu mana yang penting untuk kita? Apakah KPK dilemahkan atau memberi peran KPK yang proposional melalui regulasi yang memadai dengan tidak merugikan/mematikan KPK untuk membela/menjaga uang rakyat yang dikorupsi oleh mereka yang haus akan kekayaan.

Jawabannya KPK mesti diberi ruang untuk menindak mereka yang korupsi, tapi KPK juga diharapkan menjaga agar jangan sampai dalam upaya pemberantasan korupsi dinilai oleh masyarakat sebagai lembaga yang superbodi. Hal senada seperti apa yang disampaikan oleh Presiden SBY "Kekuasaan yang terlalu besar, apalagi tanpa kontrol memadai sangatlah berbahaya" (Tri Agung Kristanto dalam artikel "Berbahaya Kekuasaan Yang Terlalu Besar dan Tanpa Kontrol " dibukukan dalam buku Jangan Bunuh KPK"). *

Kumpulan Opini Pos Kupang

Sumber: Pos Kupang
Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved