Opini Pos Kupang
Jangan Bunuh KPK
Tes Wawasan Kebangsaan ( TWK) bagi Pegawai KPK menuai polemik. 75 pegawai lembaga antirasuah dinyatakan tidak lulus TWK
Lingkaran kepentingan politik untuk menjaga status quo sangat berkepentingan untuk menyingkirkan kelompok yang selalu bertindak diatas idealism bahwa kejujuran dan ketegasan dalam memerangi korupsi adalah wajib hukumnya.
Megguritanya kepentingan politik sering menjadi momok para penegak hukum di KPK, karena itu Novel Baswedan dan kawan-kawan yang memiliki idealisme disingkirkan melalui pembunuhan karakter.
Fakta menunjukan bahwa koruptor berada pada elit kekuasaan di berbagai level. Korupsi telah merambah dari pusat sampai ke daerah. Kondisi inilah KPK dituntut untuk lebih berbenah diri dalam penanganan kasus korupsi bukan dengan cara penonaktifan.
Karena itu upaya pembenahan kedalam perlu dilakukan. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengatakan "kalau dianggap ada kekurangan, saya berpendapat masih ada peluang untuk perbaiki melalui pendidikan kedinasan untuk wawasan kebangsaan dan perlu segera dilakukan langka-langka perbaikan pada level individu dan organisasi".
Adanya kecenderungan upaya untuk melemahkan KPK dari kelompok tertentu mesti menjadi musuh bersama Civil society demi menyelamatkan uang rakyat. Hal ini penting karena saat ini kita tidak barharap banyak dari mareka yang memiliki daya dalam upaya pemberantasan korupsi.
Independensi yang digalakan oleh Novel Baswedan dan kawan-kawan diredupkan oleh tangan-tangan yang tak kelihatan dengan berlindung dibalik TWK.
Salah satu amanat Reformasi adalah pemberantasan korupsi secara total. Pejuang reformasi saat itu memiliki alasan tersendiri agar perilaku korupsi diberantas. Penulis menduga alasan mereka adalah korupsi berpotensi menyengsarakan rakyat.
Para elit hidup dalam kemewahan sementara rakyat melarat karena dana yang diperuntukan bagi kepentingan rakyat diselewengkan oleh para elit.
Untuk memberantas perilaku korupsi maka lahirlah regulasi berupa undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.Lembaga antirasuah ini dipundaknya diletakkan harapan untuk memberangus korupsi.
Namun realita saat ini menunjukan oknum di Lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif sering melakukan korupsi. Korupsi rupanya telah membudaya karena itu agak sulit untuk memberantasnya. Para koruptor sepertinya telah mengalami degradasi moral.
Koruptor pada umumnya telah memiliki kekayaan, memiliki kekuasaan namun yang tidak dimiliki oleh koruptor adalah rasa malu.Rasa malu rupanya telah hilang dari perilaku dasar hidup mereka.
Oleh karena itu diperlukan pendidikan karakter tentang budaya malu jangan hanya diajarkan kepada generasi muda namun menjadi penting dan strategis pendidikan karakter tentang budaya malu perlu diajarkan/dibekali bagi para calon pemimpin pada berbagai level dan lembaga.
Korupsi menjadi penyakit yang menjalar cepat bak kanker ganas, ia memberi kontribusi besar dalam beragam bentuk keterpurukan Indonesia. Korupsi tidak hanya melibatkan para elit nasional namun telah merambah ketingkat lokal dari rezim ke rezim.
Hal senada diungkapkan oleh Eep Saefulloh Fatah dalam artikelnya berjudul "Jangan Bunuh KPK" yang dibukukan dalam buku "Jangan Bunuh KPK Perlawanan Terhadap Usaha Pemberantasan Korupsi".
"Ketika demokratisasi bergemuruh selepas kejatuhan Soeharto, praktek korupsi tidak serta merta meredup dan hilang. Bagai jamur, korupsi justru berkembang di musim hujan partai dan politisi baru. Otonomi Daerah yang dikembangkan ditengah demokratisasi juga menjadi arena disentralisasi korupsi dengan pemasalan dan perluasan pelaku-pelaku tingkat lokal.