Opini Pos Kupang

Jangan Bunuh KPK

Tes Wawasan Kebangsaan ( TWK) bagi Pegawai KPK menuai polemik. 75 pegawai lembaga antirasuah dinyatakan tidak lulus TWK

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Jangan Bunuh KPK
DOK POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Oleh: Gabriel Ola, Rakyat Biasa Tinggal di Maumere

POS-KUPANG.COM - Tes Wawasan Kebangsaan ( TWK) bagi Pegawai KPK menuai polemik. 75 pegawai lembaga antirasuah dinyatakan tidak lulus TWK, di antaranya adalah penyidik senior Novel Baswedan dan Abarita Damanik, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti Korupsi Giri Suprapdiono, Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto dan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi ( PJKAKI ) Sujanarko.

Buntut TWK akhirnya Presiden Republik Indonesia Joko Widodo angkat bicara "hasil TWK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK, baik pada individu atau institusi KPK dan tidak serta merta menjadi dasar pemberhentian 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes" (PK, 18/5/2021).

Selanjutnya Novel Baswedan mengatakan "apa yang dilakukan oleh Pak Firli seharusnya mendasari keaturan hukum. Pak Firli bukan pemilik KPK dan enggak bisa bertindak sewenang-wenang tanpa didasari hukum."

"Bila ternyata kami yakin bahwa memang Pak Firli Bahuri sengaja bertindak sewenang-wenang, kami akan melaporkan perbuatan yang bersangkutan ke institusi terkait. Begitu juga dengan SK yang ditandatangani oleh Pak Firli Bahuri, akan dilakukan upaya hukum sebagaimana mestinya. (PK 18/5/2021).

Baca juga: Ramalan Zodiak Karier Hari Ini Selasa 25 Mei 2021: Cancer Rendah Hati, Virgo Sukses dengan Mudah

Baca juga: Relaksasi Kredit Harus Tepat Sasaran

Di balik polemik lahirnya Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2001 tentang Tes Wawasan Kebangsaan yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri pada tanggal 20 Januari 2001 ada paradox hukum, karena Peraturan yang mengatur tentang TWK bertentangan dengan Undang-Undang KPK hasil revisi maupun Peraturan Pemerintah 41 Tahun 2020 dimana Undang-Undang KPK dan PP 41 Tahun 2020 tidak mengatur TWK.

Lalu apa motif di balik Ketua KPK menerbitkan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2001 yang ujungnya dinonaktifkan 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK dengan SK Ketua KPK tertanggal 7 Mei 2021.

Keputusan ini sessunggunya berpotensi melemahkan KPK. Direktur PJKAKI mengatakan "Penonaktifan tersebut menuai kritikan sejumlah pihak. Sebab TWK disinyalir dipakai untuk menyingkirkan pihak tertentu di KPK" (PK 19/5/2021).

Mengapa harus disingkirkan?

Realitas sosial menunjukan orang yang bekerja dengan disemangati idealisme, kejujuran dan ketegasan dalam menegakan hukum dan demokrasi pasti, mendapat tantangan dari kelompok yang ingin mempertahankan status quo.

Baca juga: Promo Alfamart Kebutuhan Dapur Selasa 25 Mei 2021, Quaker Oats Rp 44.000, Beli 2 Pop Mie Rp 10.000

Baca juga: Terbaru Kode Redeem FF Selasa 25 Mei 2021, Segera Klaim Kode Redeem Free Fire Terlengkap

Kelompok status quo merasa terancam dengan orang yang bekerja menegakan hukum dan demokrasi tanpa kompromi atau bargaining kepentingan. Terhadap mereka inilah bagi kelompok yang mempertahankan satus quo berkeinginan untuk dilenyapkan eksistensinya (peran) agar mereka bebas dari pantauan kelompok yang bekerja dengan jujur dan tegas demi mengkawal kepentingan rakyat (uang rakyat).

Saat ini kejujuran dan ketegasan menjadi sebuah nilai yang harus dihidupkan dan dihidupi oleh mereka yang dikategorikan untuk disingkirkan karena nilai-nilai tersebut kalau dipraktekkan dalam penangnanan kasus korupsi maka dapat meyelamatkan keterpurukan karena korupsi.

Nilai kejujuran dan ketegasan yang dimiliki Novel Baswedan dan kawan-kawan adalah nilai yang hidup dan tidak boleh dimatikan oleh kelompok yang ingin mempertahankan satus quo. Oleh karena itu kekuatan status quo meski dilawan dengan kekuatan civil society.

Tidak bersekutu dengan kejahatan (Koruptor) atau mareka yang melindungi koruptor menjadikan Novel Baswedan dan kawan-kawan perlu disingkirkan dari KPK. Bagi Novel Baswedan dan kawan-kawan ruang kompromi adalah penegakan hukum yang bermartabat demi menyelamatkan uang rakyat.

Siapa menyingkirkan siapa?

Lingkaran kepentingan politik untuk menjaga status quo sangat berkepentingan untuk menyingkirkan kelompok yang selalu bertindak diatas idealism bahwa kejujuran dan ketegasan dalam memerangi korupsi adalah wajib hukumnya.

Megguritanya kepentingan politik sering menjadi momok para penegak hukum di KPK, karena itu Novel Baswedan dan kawan-kawan yang memiliki idealisme disingkirkan melalui pembunuhan karakter.

Fakta menunjukan bahwa koruptor berada pada elit kekuasaan di berbagai level. Korupsi telah merambah dari pusat sampai ke daerah. Kondisi inilah KPK dituntut untuk lebih berbenah diri dalam penanganan kasus korupsi bukan dengan cara penonaktifan.

Karena itu upaya pembenahan kedalam perlu dilakukan. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengatakan "kalau dianggap ada kekurangan, saya berpendapat masih ada peluang untuk perbaiki melalui pendidikan kedinasan untuk wawasan kebangsaan dan perlu segera dilakukan langka-langka perbaikan pada level individu dan organisasi".

Adanya kecenderungan upaya untuk melemahkan KPK dari kelompok tertentu mesti menjadi musuh bersama Civil society demi menyelamatkan uang rakyat. Hal ini penting karena saat ini kita tidak barharap banyak dari mareka yang memiliki daya dalam upaya pemberantasan korupsi.

Independensi yang digalakan oleh Novel Baswedan dan kawan-kawan diredupkan oleh tangan-tangan yang tak kelihatan dengan berlindung dibalik TWK.

Salah satu amanat Reformasi adalah pemberantasan korupsi secara total. Pejuang reformasi saat itu memiliki alasan tersendiri agar perilaku korupsi diberantas. Penulis menduga alasan mereka adalah korupsi berpotensi menyengsarakan rakyat.

Para elit hidup dalam kemewahan sementara rakyat melarat karena dana yang diperuntukan bagi kepentingan rakyat diselewengkan oleh para elit.

Untuk memberantas perilaku korupsi maka lahirlah regulasi berupa undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.Lembaga antirasuah ini dipundaknya diletakkan harapan untuk memberangus korupsi.

Namun realita saat ini menunjukan oknum di Lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif sering melakukan korupsi. Korupsi rupanya telah membudaya karena itu agak sulit untuk memberantasnya. Para koruptor sepertinya telah mengalami degradasi moral.

Koruptor pada umumnya telah memiliki kekayaan, memiliki kekuasaan namun yang tidak dimiliki oleh koruptor adalah rasa malu.Rasa malu rupanya telah hilang dari perilaku dasar hidup mereka.

Oleh karena itu diperlukan pendidikan karakter tentang budaya malu jangan hanya diajarkan kepada generasi muda namun menjadi penting dan strategis pendidikan karakter tentang budaya malu perlu diajarkan/dibekali bagi para calon pemimpin pada berbagai level dan lembaga.

Korupsi menjadi penyakit yang menjalar cepat bak kanker ganas, ia memberi kontribusi besar dalam beragam bentuk keterpurukan Indonesia. Korupsi tidak hanya melibatkan para elit nasional namun telah merambah ketingkat lokal dari rezim ke rezim.

Hal senada diungkapkan oleh Eep Saefulloh Fatah dalam artikelnya berjudul "Jangan Bunuh KPK" yang dibukukan dalam buku "Jangan Bunuh KPK Perlawanan Terhadap Usaha Pemberantasan Korupsi".

"Ketika demokratisasi bergemuruh selepas kejatuhan Soeharto, praktek korupsi tidak serta merta meredup dan hilang. Bagai jamur, korupsi justru berkembang di musim hujan partai dan politisi baru. Otonomi Daerah yang dikembangkan ditengah demokratisasi juga menjadi arena disentralisasi korupsi dengan pemasalan dan perluasan pelaku-pelaku tingkat lokal.

Ditengah demokratisasi yang kita temukan adalah gejolak "Rezim berubah, korupsi sinambung". Korupsi tetap berjangkit hebat dari level teratas hingga terbawa birokrasi, ia menjadi penyakit yang diidap kalangan politisi, pejabat public yang dipilih dan berbagai institusi publik lainnya.

Kilas balik

Ada beberapa dugaan dari penulis mengapa mahasiswa begitu getol menolak direvisinya undang-undang KPK teristimewa pasal yang mengatur tentang Dewan Pengawas.

Pertama; dalam revisi undang-undang KPK mengatur bahwa penyadapan, penyitaan dan penggeledhan harus atas ijin Dewan Pengawas. Memang pasal ini disatu sisi menempatkan Dewan Pengawas memiliki kekuatan "pengimbang" dalam urusan pemberantasan korupsi tetapi dilain sisi para mahasiswa mungkin takut akan adanya potensi tarik menarik kepentingan apabila kasus korupsi melibatkan perseteruan kepnetingan politik para elit yang pada akhirnya kasus tersebut tidak diselesaikan dengan baik, transparan dan tuntas.

Kedua; apabila ke depan peran Dewan Pengawas tidak independen maka mahasiswa punya ketakitan akan melemahnya demokrasi. KPK yang diberi peran untuk berantas korupsi tetapi ruang gerak dibatasi dengan harus meminta ijin kepada Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan.Kondisi ini berpotensi melemahkan semangat reformasi yang diperjuangkan oleh mahasiswa tentang upaya pemberantasan korupsi secara total.

Ketiga; Dewan Pengawas ditentukan oleh Presiden, hal ini oleh mahasiswa punya keraguan akan independensi. Karena bukan rahasia umum dalam setiap proses seleksi pejabat publik ada potensi bargaining politics bakal terjadi. Kecendrungannya yang terpilih sebagai Ketua Dewan Pengawas adalah mereka yang dipastikan dapat "bekerjasama" atau tidak mengusik kepentingan para elite

Keempat; rupanya mahasiswa membaca adanya upaya yang berpotensi melemahkan KPK. Menurut Febri Diansyah dalam artikelnya berjudul "Sinyal delegitimasi KPK" beliau menggambarkan "Sejarah delegitimasi lembaga anti korupsi , seperti KPK merupakan pola berulang.

Berdasarkan catatan ICW sudah tujuh institusi pemberantasan korupsi patah tumbuh hilang berganti. Emapt diantaranya sengaja dimatikan setelah dicoba agak keras menyeret penguasa dengan delik korupsi (Kompas 7/5/2009). Pertama, Keppres No. 228/1967 membentuk Tim Pemberantas Korupsi.

Kedua, 31 Janauari 1970, lewat Keppres No. 12/1970 dibentuk Tim Komisi Empat. Ketiga, pada tahun yang sama diusung nama baru, Komite Anti Korupsi. Keempat, tahun 1977 muncul Inpres No. 9/1977 tentang Tim Opstib.

Kelima, tahun 1982 Tim Pemberantas Korupsi diaktifkan kembali meski Keppres yang mengatur tugas dan wewenang Tim ini tidak pernah diterbitkan.Keenam, melalui Keppres No. 127/1999 dibentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara.

Ketujuh, berdasarkan PP No.19/2000 dikukuhkan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ". Dari sejarah ini mahasiswa takut jangan-jangan KPK mengalami nasib yang sama.

KPK memang menakutkan bagi setiap orang yang korupsi, namun kehadirannya adalah "pembela bagi rakyat". Karena itu mana yang penting untuk kita? Apakah KPK dilemahkan atau memberi peran KPK yang proposional melalui regulasi yang memadai dengan tidak merugikan/mematikan KPK untuk membela/menjaga uang rakyat yang dikorupsi oleh mereka yang haus akan kekayaan.

Jawabannya KPK mesti diberi ruang untuk menindak mereka yang korupsi, tapi KPK juga diharapkan menjaga agar jangan sampai dalam upaya pemberantasan korupsi dinilai oleh masyarakat sebagai lembaga yang superbodi. Hal senada seperti apa yang disampaikan oleh Presiden SBY "Kekuasaan yang terlalu besar, apalagi tanpa kontrol memadai sangatlah berbahaya" (Tri Agung Kristanto dalam artikel "Berbahaya Kekuasaan Yang Terlalu Besar dan Tanpa Kontrol " dibukukan dalam buku Jangan Bunuh KPK"). *

Kumpulan Opini Pos Kupang

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved