Opini Pos Kupang

Krisis Koalisi Pada Pilkada di NTT

Pilihan koalisi pada Pilkada di sembilan kabupaten di NTT, bukan tanpa soal

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Krisis Koalisi Pada Pilkada di NTT
Dok
Logo Pos Kupang

Oleh Pius Rengka, Alumnus Peace Studies and Conflict Resolution UGM

POS-KUPANG.COM - Pilihan koalisi pada Pilkada di sembilan kabupaten di NTT, bukan tanpa soal. Koalisi PDIP dan Nasdem, tampaknya hanya berlaku di sedikit kabupaten bahkan mungkin tak pernah bakal terjadi koalisi di NTT.

Sebaliknya, Golkar, PKB, Nasdem dan Demokrat dapat saja berkoalisi untuk beberapa kabupaten. Misalnya, di Kabupaten Manggarai, koalisi mungkin terjadi antara NasDem, Demokrat Pan dan Golkar.

Sedangkan partai-partai kecil lain menyusul seperti menyusui induk partai-partai utama yang berpengaruh luas. Begitu pun PKB, barisan ideologinya dekat dengan Golkar, Demokrat, Gerindra.

Litani Program Cashback

Karena itu, dalam spectrum imajinasi koalisi partai untuk Pilkada di NTT, hitungannya bukan ideologi yang diutamakan, tetapi pilihan praktis dan bahkan amat sangat pragmatis kontekstual.

Sedangkan Hanura, PPP, PSI, Perindo, PKPI hingga artikel ini ditulis tampak membukukan sejumlah pertimbangan serius, karena akan berurusan dengan nasib pemilihan umum serentak 2024 untuk partai-partai ini.

PDIP mempertimbangkan wakil dari partai moderat agar dia tidak terganggu pada masa pemilihan umum ketika Megawati kian renta menua, tatkala sirkulasi elit di partai kepala banteng moncong putih itu masih berpusat pada trah keluarga Soekarno.

Waspada! Tiga Warga Manggarai Positif Covid-19

Cilakanya usai Megawati purna daya, tampaknya bahu Puan Maharani belum terlalu tangguh memberi sandaran pengaruh pada electoral untuk mencitrakan partai itu, kecuali jika PDIP mempertimbangkan serius Ganjar (Gubernur Jateng) atau Jokowi (Presiden Indonesia).

Sementara koalisi Gerindra memetik masalah bawaan sejak koalisi presiden karena friksi kepentingan calon wakil dan ongkos saat itu. Untuk urusan itu, tercatat, PKS, PAN melunak menyusul isu mahar 500 miliar untuk masing-masing.

Demokrat pada posisinya sekarang kian tidak terganggu malah terkonsolidasi, terutama karena ini partai berada di luar koalisi pusat, tetapi memiliki getaran pengaruh kuat di lapisan bawah di sejumlah kabupaten.

Sesungguhnya, sejak awal pola koalisi partai-partai di Pilkada menyimpan soal ideologis. Dalam perspektif exchange (Rijker, 1962; Coleman, 1966; Downs, 1967) politik dilihat sebagai agregasi kepentingan individu ke dalam tingkah laku kolektif berdasarkan prosedur rational bargaining, negosiasi dan pertukaran kepentingan.

Maka konsideran politik dibangun di atas dua isu yaitu pertukaran sukarela antaraktor yang berkepentingan dan kalkulasi keuntungkan anggota koalisi. Diproyeksi, koalisi memanen tiga keuntungan.

Pertama, pilihan politik pembangunan yang disepakati jika kandidat yang diusung menang dalam kompetisi elektoral. Hal ini berupa distribusi insentif di kabupaten masing-masing. Partai politik koalisi yang memenangkan pemilihan diduga mendapatkan keuntungan dari pemenangan pilkada.

Tetapi pertimbangan ini, terus terang, sama sekali tidak akan berkalu untuk Malaka andaikan dr. Stef Bria Seran memenangkan Pilkada (feeling saya dia menang) karena dr. Stef menjadi bupati periode kedua tanpa beban masa depan politik, malah partai koalisi menumpang panggung pada pesona Stef Bria Seran. Tetapi, konsideransi ini akan berlaku kuat untuk Manggarai Barat, Ngada dan Kefamenanu, karena masing-masing kabupaten menyimpan kompetisi sendiri yang khas.

Koalisi di Mabar, akan sangat beraroma kapitalistik, karena para kandidat menjadi obyek mainan para pemilik modal yang sangat berkepentingan dengan arus dana yang bakal mengalir ke Mabar melalui pariwisatanya.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved