Liputan Khusus
LIPSUS: Suster Laurentina dan Pdt Emi Sahertian Geram dan Muak Dengar Fakta Sidang
Suster Laurentina, PI dan Pendeta Emi Sahertian, S.Th, mengatakan jijik, muak dan hampir muntah mendengarkan fakta persidangan
POS-KUPANG.COM, KUPANG – Suster Laurentina, PI dan Pendeta Emi Sahertian, S.Th, mengatakan jijik, muak dan hampir muntah setelah mendengarkan fakta persidangan terkait tindakan terdakwa eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman terhadap korban anak dalam perkara kekerasan seksual.
Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, dijatuhi hukuman 19 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Kupang, Selasa (21/10/2025).
Ditemui usai pembacaan vonis perkara tersebut, Suster Laurentina menilai hukuman 19 tahun bagi Fajar Lukman itu terlalu ringan, mestinya majelis hakim memvonis seumur hidup.
“Kalau saya, kayaknya terlalu ringan itu, harusnya lebih dari itu. Bahkan harusnya seumur hidup, selamanya dia di penjara,” kata Suster LaurentinaLaurentina.
Bahkan Suster Laurentina mengkritik Fajar Lukman yang meminta waktu untuk pikir-pikir dalam mengajukan banding atau tidak.
“Tadi dikatakan dia masih pikir-pikir, padahal ketika dia berbuat itu dia tidak piker-pikir. Dia langsung membuat seenaknya begitu,” kata Suster Laurentina.
Suster Laurentina mengatakan sangat muak dan jijik mendengar fakta persidangan tentang perbuatan terdakwa Fajar Lukman terhadap korbannya.
“Ketika hakim mebacakan kelakuannya dia itu, saya muak, jijik saya sebagai perempuan. Tega-teganya dia melakukan itu untuk anak kecil dan itu bukan phedofilia tapi dia sudah melakukan juga orang dewasa. Sangat kejahatan. Dia layak untuk dibuang ke Nusakambangan,” kata Suster Laurentina.
Hal senada disampaikan Pendeta Emi Sahertian, S.TH setelah mendengar fakta persidangan yang dibacakan majelis hakim.
“Saya mau muntah ya tadi mendengar fakta persidangan. Karena kami baru ikut dan tahu bagaimana teknis yang dilakukannya Fajar terhadap anak-anak ini. Satu catatan saya, 19 tahun vonis itu terlalu ringan bagi kejahatan yang ekstra ordinari itu. Apalagi dia sudah melanggar sekian UU, ada UU PA, UU TPKS, lalu ITE. Satu yang tidak yakni UU TPPO,” jelas Pendeta Emi Sahertian.
Baca juga: SAKSIMINOR Ketemu Ketua PN Kupang, Tegaskan Anak Bukan Alat Hiburan Orang Dewasa
Dan sebetulnya kalau ditotal jika Fajar Lukman tidak bisa restitusi, maka ada 2 tahun tambahan, jadi totalnya hukumannya sekitar 21 tahun.
Bagi Pendeta Emi Sahertian, pernyataan Fajar Lukman dan pengacaranya yang masih pikir-pikir untuk banding atau tidak terhadap vonis itu, adalah hal yang menghina masyarakat.
Pendeta Emi Sahertian menambahkan, sebagai pelayan umat, kehadiran mereka saat itu hanya untuk mengatakan bahwa pengadilan dan aparat hukum masih mempunyai nurani sebagai orang orang yang percaya pada Tuhan di mana ada seorang aparat hukum yang mestimya melindungi anak anak justru melakukan kejaatan seksual.
Pendeta Emi Sahertian berharap agar Fajar Lukman harus menerima kenyataan dan vonis majelis hakim itu. Jika mereka banding, Pdt Emi berharap hakim di Pengadilan Tinggi NTT bisa menambah vonis dari Hakim PN Kupang itu.
“Saya berpikir bahwa keputusan hakim itu tidak perlu lagi diotak-atik, bila perlu ditambah. Kami sebagai masyarakat sipil dan sebagia pendamping umat akan mengawal kasus ini sampai tuntas,” tegas Pendeta Emi Sahertian.
Pendeta Dessy Rondo Efendi mengatakan, keadilan itu harus ditegakkan dan hal ini juga untuk mengembalikan kredibilitas dari penegak hukum untuk konsisten dengan apa yang dilakukan.
“Menurut saya hukuman yang diberikan kepada eks Kapolres Ngada itu, diterima saja. Ini adalah kenyataan yang sesungguhnya. Saya secara pribadi lebih baik hukum seumur hidup saja,” kata Pendeta Dessy Rondo Efendi.
Menurut Pendeta Dessy Rondo Efendi, kasus eks Kapolres Ngada ini menjadi sebuah catatan bagi anak- anak Indonesia di masa depan apalagi bagi masyarakat NTT. Kasus ini adalah penghinaan luar biasa bagi anak-anak perempuan di NTT.
Pendeta Dessy Rondo Efendi berharap agar kasus ini menjadi sebuah spirit untuk masyarakat agar terus gencar memberikan edukasi bagi anak-anak dalam jemaat, dan semua anak-anak.
Dengan demikian anak-anak bisa mendapatkan pendidikan yang baik tentang seksualitas dan menjaga reproduksi mereka Terlebih khusus orang tua yang punya anak termasuk Fajar Lukman bisa belajar dari kasus ini. Menurut Pendeta Dessy Rondo Efendi, hukuman setimpal bagi Fajar Lukman yakni menerima hukuman itu.
*Fajar Lukman Vonis 19 Tahun, Fani Vonis 11 Tahun
Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, dijatuhi hukuman 19 tahun penjara. Sidang pembacaan putusan berlangsung terbuka untuk umum di ruang Cakra PN Kupang.
Sidang pertama berupa pembacaan vonis untuk terdakwa Stefani Rehi Doko alias Fani, dilanjutkan pembacaan vonis untuk terdakwa Fajar Lukman.
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Ketua Anak Agung Gde Agung Parnata, SH, bersama dua hakim anggota yakni Putu Dima Indra, SH dan Sisera Semida Naomi Nenohayfeto, SH. Majelis hakim menolak seluruh pledoi pengacara terdakwa Fajar dan menyatakan bahwa Fajar terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap ketiga anak dengan tipu muslihat.
Baca juga: LIPSUS: Eks Kapolres Ngada Dituntut 20 Tahun, Fajar Tidak Menyesali Perbuatannya
“Terdakwa Fajar Widyadharma Sumaatmaja terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat untuk melakukan persetubuhan,” tegas Anak Agung.
Atas perbuatannya, Fajar dijatuhi pidana 19 tahun penjara dan denda sebesar Rp 5 miliar, dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 1 tahun 4 bulan. Selain itu, majelis hakim juga mewajibkan terdakwa membayar restitusi kepada tiga korban dengan total sebesar Rp 359.152.000 untuk ketiga anak korban.
Hadir tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kota Kupang dan Kejati NTT, masing-masing Arwin Adinata, SH, Kadek Widiantari, SH, Samsu Jusnan Efendi Banu, SH dan Sunoto, SH. Sementara tim PH Terdakwa Fajar dihadiri oleh Akhmad Bumi, SH, Andi Alamsyah, SH dan Reno Nurjali Junaedy, SH.
Sementara terdakwa Stefani Rehi Doko alias Fani (20) divonis 11 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Vonis ini lebih ringan satu tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kota Kupang, yang sebelumnya menuntut Fani dengan 12 tahun penjara dalam sidang tuntutan pada Senin (22/9/2025).
Sidang putusan ini dipimpin Hakim Ketua Anak Agung Gde Dharma Agung Parnat didampingi dua hakim anggota, Putu Dima Indra dan Sisera Semida Naomi Nenohayfeto.
Dalam persidangan, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana tersebut. Mahasiswi ini disebut terbukti sah melakukan perdagangan orang dalam hal ini anak 5 tahun yang berujung pada kasus asusila.
Terdakwa juga merupakan tersangka sekaligus korban dewasa dari kasus asusila AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, mantan Kapolres Ngada. Terdakwa membawa korban I (5) tahun kepada Fajar di sebuah hotel dan menerima upah.
Terdakwa mengaku menjemput dan menemani anak korban yang berusia 5 tahun ini bermain di sejumlah tempat. Ia mendapat fasilitas mobil rental dari Fajar. Kemudian mereka mandi di salah satu hotel di Kupang hingga anak ini tertidur saat menonton televisi. Fani mengaku Fajar menyuruhnya keluar kamar saat korban tertidur.
Baca juga: LIPSUS: Tensi Darah AKBP Fajar Tinggi Eks Kapolres Ngada Pakai Rompi Orange 26 Ditahan di Rutan
Kemudian terdakwa meninggalkan keduanya di dalam kamar. Saat itulah Fajar diketahui mendekati anak korban kemudian melakukan tindakan asusila terhadap korban hingga korban mengeluh kemaluannya sakit. Berdasarkan hasil visum et repertum, korban diketahui telah dilecehkan.
Hakim membenarkan seluruh unsur dalam dakwaan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan menyebut tuduhan ini terbukti sah dan meyakinkan.
Fani sebagai terdakwa sejak awal sudah tahu niat jahat Fajar terhadap korban anak dan tahu perbuatan asusila akan menimpa korban anak ini. Majelis tidak setuju terhadap pembelaan Fani yang tak mengetahui Fajar akan melalukan asusila terhadap korban anak.
"Terdakwa sudah beberapa kali melakukan hubungan badan dengan terdakwa Fajar kemudian diminta membawa anak SD sementara terdakwa mengetahui Fajar memiliki ketertarikan terhadap anak-anak," bacanya lagi.
Suasana haru bercampur gembira dan riuh rendah menyelimuti depan Gedung Pengadilan Negeri Kupang Kelas IA, usai terdakwa Fajar Lukman, eks Kapolres Ngada dijatuhi vonis 19 tahun penjara dan terdakwa Stefani Rehi Doko alias Fani divonis 11 tahun penjara.
Pantauan Pos Kupang massa aksi dari aliansi masyarakat sipil dan mahasiswa yang tergabung dalam SAKSIMINOR (Solidaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas & Rentan NTT) dan APPA NTT serta Cipayung Plus ikut mengawal proses sidang tersebut.
Baca juga: Terdakwa Fani Tegaskan Keterangan eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Lukman Penuh Kebohongan
Saat sidang dengan agenda vonis dibacakan di ruang sidang, massa aksi terus melakukan orasi di depan Kantor Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Kupang. Ketua PN Kupang, Fery Hanyanta, SH, ikut memantau massa aksi dari dalam halaman Kantor itu. Dia meminta massa aksi berorasi di dalam halaman pengadilan, namun massa menolaknya.
Begitu putusan dibacakan majelis hakim, massa aksi langsung membakar sebuah ban di jalan raya depan Kantor PN Kupang. Api yang menyala itu menjadi symbol semangat perjuangan SAKSIMINOR, Cipayung Plus dan APPA NTT, yang tak pernah padam untuk mengawal kasus-kasus kekerasan terhadap permpuan dan anak. (vel/uan/sisco/rita/yona)
*Tujuh Hari untuk Pikir-pikir
Ahmad Bumi, SH, Kuasa hukum mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja menyatakan pihaknya masih mempertimbangkan langkah hukum lanjutan usai majelis hakim menjatuhkan vonis 19 tahun penjara terhadap kliennya.
Ahmad mengatakan bahwa pihaknya menghormati putusan majelis hakim, namun masih akan mempelajari isi putusan sebelum memutuskan langkah banding.
”Keputusannya kita hormati, tadi kita sudah katakan, akan pikir-pikir selama tujuh hari, apakah banding atau tidak," kata Akhmad Bumi.
Ditanya komentanya terkait seluruh pledoi penasihat hukum ditolak majelis hakim, Akhmad mengatakan, pihaknya ada satu pandangan.
"Dengan persidangan yang sama-sama kita dengar ada satu ruang bahwa seolah ruangnya kita berikan sebesar-besarnya kepada anak untuk melakukan seperti yang kita dengar di putusan tadi. Menjual diri melalui michat. Seharusnya anak itu kalau kita pandang sebagia pelaku kan bisa dibina di LP anak, sesuai UU peradilan pidana anak. Tapi itu tidak diatur, semuanya kita pandang sebagai korban. Jadi ruang itu diberikan oleh hukum melalui putusan itu. Ini menjadi salah satu pandangan. Saya pikir semua pihak untuk memikirkan hal itu," jelas Akhmad.
Akhmad juga mengatakan, tim pengacara akan melihat dulu fakta dalam putusan majelis hakim tersebut. “Soal putusan itu, kami hormati. Tapi kami akan lihat dulu fakta yang tertulis dalam putusan tersebut,” tambahnya.
Baca juga: Akhmad Bumi: Biarkan Majelis Hakim yang Menimbang dan Memutuskan Berdasar Fakta
Menurut Akhmad, sejumlah pertimbangan yang telah diajukan dalam pledoi (nota pembelaan) sebelumnya juga telah diakomodasi sebagian oleh majelis hakim, termasuk soal pemberian restitusi kepada korban.
Akhmad menyoroti bahwa dalam perkara ini, penting bagi aparat penegak hukum untuk melihat posisi anak-anak dalam kasus kekerasan seksual secara utuh, bukan sebagai pelaku, melainkan sebagai korban yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan.
“Majelis tadi sudah memberikan pertimbangan bahwa hukum memberikan ruang kepada anak-anak. Dalam perspektif hukum, anak yang terlibat dalam perkara seperti ini tidak dipandang sebagai pelaku, tapi korban yang harus dibina,” jelasnya.
Ahmad menjelaskan, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengatur tiga posisi anak dalam hukum pidana, yakni sebagai pelaku, korban, atau saksi. Karena itu, langkah pembinaan dan pemulihan anak harus dijalankan secara proporsional.
Baca juga: Sarah Lery Mboeik : Logika Pengacara Akhmad Bumi Dangkal Terkait HAM dan Keadilan
“Kami melihat perlu ada ruang pembinaan yang sesuai, misalnya di lembaga pembinaan anak, bukan hanya pemulihan psikis di Dinas Sosial. Itu mungkin pilihan hukum yang bisa dipertimbangkan ke depan,” katanya.
Hal senada disampaikan Vellyn Thya, tim pengacara terdakwa Stefani Rehi Doko alias Fani , ditemui Pos Kupang, usai vonis hakim di PN Kupang.
Vellyn mengatakan, mereka punya waktu 7 hari untuk pikir-pikir, apakah akan mengajukan banding atau menerima putusan majelis hakim. “Masih ada tujuh hari untuk pikir-pikir, banding atau tidak,” kata Vellyn singkat. (uan/vel)
*Ketua PN KUpang Minta SAKSIMINOR Kawal Terus
KETUA Pengadilan (PN) Kelas 1A Kupang, Fery Haryanta, SH, turut mendampingi SAKSIMINOR sejak awal massa aksi tiba di PN Kupang. Massa aksi menggelar aksinya di depan Kantor PN Kupang, sedangkan Fery melihat kegiatan itu dari dalam halaman pengadilan.
Fery meminta massa aksi masuk, namun ditolak. Fery berdiri di sana ditemani sejumlah staf pengadilan dan polisi hingga putusan majelis hakim selesai dibacakan.
Usai vonis hakim terhadap eks Kapolres Nafa dibacakan, massa SAKSIMINOR meminta Fery ikut bergabung dalam jumpa pers. Fery diberi kesempatan untuk menyampaikan tanggapannya atas aksi SAKSIMINOR selama ini.
Kepada massa aksi SAKSIMINOR, Fery mengucapkan terima kasih atas pengawalan yang dilakukan massa aksi sejak awal hingga akhir proses persidangan eks Kapolres Ngada itu selesai.
"Terima kasih atas dukungan masyarakat terutama yang tergabung dalam SAKSIMINOR telah mengawal dari awal sampai akhir. Bahwa kita tetap terbuka dan tadi kita juga zoom meeting, siapapun seluruh Indonesia bisa mengakses," kata Fery, menekankan transparansi proses peradilan dalam kasus eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman itu.
Terima kasih atas dukungannya dan koreksinya kepada kami, institusi di PN untuk lebih baik lagi. “Kalau ada kerkurangan, saya terima dengan lapang dada. Kami ke depan akan lebih baik lagi dan saya siap untuk SAKSIMINOR kawal terus setiap perkara di pengadilan. Ada perkara korupsi dan lainnya, silahkan dikawal semuanya, kita terbuka, dan membuka diri,” kata Fery.
Fery juga minta membuka diri jika masyarakat ingin berkonsultasi atau bicara dengannya.
Menanggapi adanya kemungkinan kekecewaan dari pihak-pihak tertentu terkait vonis majelis hakim, Fery mempersilakan pihak dimaksud menempuh jalur hukum lebih lanjut.
"Mengenai keputusan, saya selaku Ketua Pengadilan Negeri tidak bisa mengomentari tapi kalau ada kekecewaan ada kekurangan silakan sampaikan. Kalau tidak, sampaikan banding ataupun dan seterusnya," tutupnya.
Fery tetap mengajak SAKSIMINOR untuk terus mengawal berbagai persidangan kasus yang digelar di PN Kupang, baik kasus kekerasan seksual, maupun kasus korupsi dan kasus pidana atau perdata lainnya. (vel/uan/sisco)
Denda Rp 5 Miliar
A.Pembayaran Restitusi:
1.Korban I: Rp 34.645.000
2.Korban Wd: Rp 159.419.000
3.Korban Wl: Rp 165.088.000
Total : Rp 359.152.000
B.Vonis Hakim
1.Hukuman : 19 Tahun Penjara
2.Denda: Rp 5 miliar, subsider 1 tahun 4 bulan
3.Restitusi Rp 359 juta, subside 1 tahun kurungan
Sidang eks Kapolres Ngada dan Fani
Fajar Lukman
Fani
Suster Laurentina
Pendeta Emi Sahertian
POS-KUPANG.COM
Lipsus
Meaningful
Eksklusif
| LIPSUS: OPD Kelola Dana Rp 15 Juta Setahun, Efek Pemangkasan Dana TKD |
|
|---|
| LIPSUS: Oknum Polisi Aniaya Warga Hingga Tewas , Sama-sama Mabuk di Acara Keluarga |
|
|---|
| LIPSUS: Saksi Prada Richard Boelan Menangis Disuruh Terdakwa Lakukan Tindakan Tidak Senonoh |
|
|---|
| LIPSUS: Prada Lucky dan Richard Disiksa Berkali-kali, Bagian Sensitif Diolesi Cabai |
|
|---|
| LIPSUS: Prada Lucky Teriak Kesakitan, Dipukul dengan Selang dan Tangan |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/pendeta-dan-suster.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.