NTT Terkini
Kasus eks Kapolres Ngada Dinilai Lukai Rasa Kemanusiaan, Korban Anak Harus Dilindungi
Menurutnya, peristiwa itu bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap tanggung jawab moral seorang aparat kepolisian
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Yuan Lulan
POS-KUPANG.COM, KUPANG — Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Nusa Tenggara Timur (NTT) menilai kasus prostitusi online yang menyeret mantan Kapolres Ngada merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat menyakitkan dan mencoreng wibawa aparat penegak hukum.
Hal ini disampaikan Ester Ahaswati Day, S.H., pengacara LBH APIK sekaligus kuasa hukum dari tiga anak korban dalam kasus tersebut.
Menurutnya, peristiwa itu bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap tanggung jawab moral seorang aparat kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat.
“Kasus ini sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Seorang pemimpin, seorang penegak hukum, justru menjadi pelaku kekerasan terhadap anak. Ini melukai hati masyarakat dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum,” tegas Ester saat diwawancarai oleh POS-KUPANG .COM di kantor LBH APIK, Senin (7/10/2025).
Dalam kasus eks Kapolres Ngada, LBH APIK mendampingi tiga anak korban. Pendampingan dilakukan bersama DP3A Provinsi NTT, psikolog profesional, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Tujuannya agar para korban mendapatkan perlindungan komprehensif selama proses hukum berjalan.
“Kami berikan pendampingan hukum, psikologis, sosial, dan juga memastikan anak-anak tinggal di tempat aman. Dua anak kami tempatkan di shelter dan satu anak bersama keluarga, tetapi dalam pengawasan ketat,” ujar Ester.
Ia menjelaskan, proses pendampingan sempat menghadapi sejumlah kendala, terutama pada tahap awal ketika koordinasi antarinstansi belum berjalan baik.
Baca juga: LBH APIK Beri Tips Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di NTT
“Awalnya memang ada miskomunikasi dengan pihak dinas terkait, sehingga kami sempat kesulitan untuk mengakses anak korban. Namun seiring waktu, koordinasi semakin membaik dan sekarang berjalan lebih lancar,” jelasnya.
Selama proses penyidikan dan pemeriksaan, tim LBH APIK harus bekerja ekstra agar anak-anak korban merasa aman untuk memberikan keterangan.
Menurut Ester, korban yang masih berusia di bawah 10 tahun sulit bercerita secara terbuka tanpa pendekatan khusus.
“Kami menggunakan pendekatan bermain. Anak-anak ini baru mau bercerita saat mereka merasa nyaman. Jadi kami siapkan alat permainan sederhana, supaya proses pengambilan keterangan tidak menimbulkan tekanan psikis,” katanya.
Selain mendampingi di tahap pemeriksaan, LBH APIK juga berkoordinasi dengan pihak shelter, DP3A, dan psikolog untuk memastikan kondisi mental korban tetap stabil.
“Proses hukum panjang, dan bagi anak-anak ini sangat melelahkan. Karena itu kami fokus pada pendampingan berkelanjutan sampai pasca putusan nanti,” ujar Ester.
Dalam persidangan, terdakwa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut hukuman 20 tahun penjara, denda Rp 5 miliar, dan restitusi bagi korban.
“Kami mengapresiasi jaksa yang berani menuntut maksimal. Ini menunjukkan keberpihakan terhadap korban anak,” ungkap Ester.
Namun, ia menyesalkan munculnya pernyataan dari pihak kuasa hukum terdakwa di media yang menyebut bahwa anak-anak tersebut bukan korban.
“Itu sangat menyakitkan bagi korban dan keluarganya. Kami harap semua pihak bisa menghormati proses hukum dan tidak mengeluarkan pernyataan yang menambah beban psikologis anak,” tegasnya.
LBH APIK bersama keluarga dan LPSK kini tengah mengurus perhitungan restitusi atau ganti kerugian bagi korban.
Ester menjelaskan, restitusi sangat penting sebagai bentuk keadilan bagi anak-anak yang kehilangan masa depan karena perbuatan pelaku.
“Kami mendampingi korban dan keluarga dalam menghitung kerugian yang dialami. Harapannya, restitusi benar-benar dipenuhi dan disalurkan untuk kepentingan anak-anak,” tuturnya.
Ester menegaskan, keadilan bagi korban anak tidak berhenti pada hukuman berat bagi pelaku, tetapi juga bagaimana negara memastikan korban bisa kembali menjalani hidupnya dengan aman, bersekolah, dan mendapat pemulihan psikologis. (uan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
DPRD Minta Ajakan Gubernur NTT Agar ASN Bantu Komunikasi Publik Hindari Distorsi Informasi |
![]() |
---|
Menteri Kebudayaan Kunjungi PBI Dili dalam Lawatan Timor Leste |
![]() |
---|
Dialog dengan Pelaku Usaha Perikanan di Oeba, Sulastri Rasyid Minta Maaf |
![]() |
---|
PMKRI Cabang Kupang Perkuat Barisan Kader untuk Gerakan Sosial, Advokasi dan Pemberdayaan |
![]() |
---|
BERITA POPULER- Keracunan MBG di Timor Tengah Selatan, Kasus DBD di Malaka, Kasus HIV/AIDS di Belu |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.