Mengais Harapan di Antara Deru Kendaraan: Kisah Herlina, Perempuan Penjaga Parkir di Kupang

“Kadang tidak dibayar. Tapi saya terima berapa pun yang diberi. Mau marah tidak bisa,” ujar Herlina. 

Editor: Sipri Seko
POS-KUPANG.COM/TARI RAHMANIAR ISMAIL
JURU PARKIR - Herlina Wati juru parkir perempuan di Kota Kupang sedang bekerja. 

Laporan reporter POS-KUPANG.COM, Tari Rahmaniar Ismail

POS-KUPANG.COM, KUPANG — Di bawah terik matahari yang sering mencapai suhu menyengat khas Kota Kupang, seorang perempuan tampak sigap mengatur kendaraan yang keluar masuk area parkir di kawasan TDM, tepatnya di depan Mixue TDM 3.

Sambil membawa setumpuk karcis, ia menyapa setiap pengunjung dengan ramah, seolah menyembunyikan letih yang kerap menghinggapinya. Dialah Herlina Wati, perempuan asal Jawa yang sudah lima tahun merantau dan bertahan hidup di Kota Kupang.

Usianya sudah memasuki 50-an tahun, namun langkahnya tidak pernah terlihat ragu. Ada keteguhan yang ia rawat setiap hari keteguhan seorang ibu yang memilih berdiri di bawah panas dan hujan demi memastikan keluarganya tetap memiliki makan dan tempat berteduh.

Keputusan Herlina Wati untuk pindah ke Kupang berawal dari tekad mengikuti sang suami, Samuel Sila, yang mencoba peruntungan sebagai pekerja bangunan. Namun kehidupan tidak serta-merta menjadi lebih mudah. Pendapatan sang suami bersifat musiman dan tidak tetap.

JURU PARKIR - Herlina Wati juru parkir perempuan di Kota Kupang sedang bekerja.
JURU PARKIR - Herlina Wati juru parkir perempuan di Kota Kupang sedang bekerja. (POS-KUPANG.COM/TARI RAHMANIAR ISMAIL)

“Kalau ada orderan bangunan, dapat delapan puluh ribu. Kalau ramai bisa seratus ribu,” ujarnya, Kamis (23/10). 

Dalam sebulan, bila keberuntungan memihak, gabungan pendapatan mereka bisa mencapai Rp 1,3 juta. Namun angka itu bukan jaminan, sebab pekerjaan suaminya tidak setiap hari ada.

Mereka tinggal di sebuah kamar kos sederhana seharga Rp 400.000 per bulan di kawasan Amanuban, Kota Kupang. Di ruangan itulah mereka tidur, makan, dan menata harapan kecil yang bertahan dari satu hari ke hari berikutnya.

Sebelum memakai rompi parkir, Herlina sempat bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan gaji Rp 700.000 per bulan.  Namun biaya hidup meningkat, terlebih karena ia masih harus menyekolahkan anak bungsunya, membuat penghasilannya tidak lagi mencukupi.

Setahun lalu, ia akhirnya memberanikan diri menerima tawaran menjadi juru parkir. Pekerjaan yang jarang dilirik perempuan, apalagi pada usia yang tak lagi muda.  Tetapi baginya, tidak ada pekerjaan yang memalukan selama halal dan dilakukan dengan jujur.

Setiap hari, ia bekerja 12 jam mulai pukul 11.00 WITA g hingga 23.00 WITA. Saat panas menyengat, ia bertahan. Ketika hujan turun tiba-tiba, ia tetap berdiri sambil menggenggam karcis yang tidak pasti.

Untuk menekan pengeluaran, makanan dan minuman selalu ia bawa dari kos.  “Kalau beli di luar cepat habis uang. Jadi harus bawa makan dan minum,” ujarnya.

Meski bekerja dari siang hingga larut malam, pendapatan Herlina rata-rata hanya Rp40.000 per hari. 
Namun jumlah itu belum benar-benar menjadi miliknya, karena ia memiliki kewajiban menyetor Rp60.000 per hari kepada Dinas Perhubungan melalui perantara.

Dalam hari-hari sepi, sisa uang yang bisa ia bawa pulang bahkan tidak sampai cukup untuk belanja harian. Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap bertahan, jawabannya sederhana, namun menyayat:

“Kalau saya tidak kerja bantu suami, bagaimana kehidupan kami," ungkapnya. 

Sumber: Pos Kupang
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved