Opini
Opini: KUHAP baru dan Potensi Ancaman Dominasi Lex Generalis terhadap Lex Specialis
Gustav Radbruch menyebut bahwa hukum harus mengandung tiga nilai dasar: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Masih ada sejumlah lex specialis yang potensial berkonflik dengan KUHAP baru, antara lain, UU Perlindungan Anak (proses peradilan anak berbeda), UU ITE (barang bukti digital), UU Terorisme (penangkapan/preventive detention lebih panjang) serta UU Karantina Kesehatan (penegakan pidana administratif khusus).
Bila pada titik ini, KUHAP baru tidak mengakomodasi pengecualian-pengecualian tersebut secara eksplisit, maka lex specialis terancam tereduksi.
Mengapa dominasi lex generalis terjadi?
Ancaman dominasi lex generalis oleh KUHAP baru bukan sekadar persoalan teknis perundang-undangan tetapi adalah persoalan teoretis dan praksis yang sudah lama dipetakan para ahli hukum.
Ada sedikitnya empat dasar teoretis yang menjelaskan mengapa KUHAP sebagai norma umum dapat menggeser keberlakuan undang-undang khusus-bahkan sekalipun asas lex specialis derogat legi generali seharusnya bekerja.
Pertama, secara normatif, Hans Kelsen sejak awal mengingatkan bahwa ketika norma-norma berada pada tingkat hierarki yang setara, dan tidak ada mekanisme penegasan prioritas yang eksplisit, aparat cenderung memilih norma yang paling komprehensif atau paling “dianggap aman”.
Dalam konteks Indonesia, posisi KUHAP sebagai satu-satunya “kitab” acara pidana membuatnya secara alami tampil sebagai payung utama.
Di titik ini, specialitas yang diatur dalam banyak UU sektoral menjadi rentan tersubordinasi hanya karena tidak dipertegas relasinya terhadap KUHAP.
Kedua, H.L.A. Hart melalui konsep rule of recognition menegaskan bahwa hukum tidak hanya berlaku karena tertulis, tetapi karena diakui dan dipraktikkan oleh aparat secara internal.
Di sinilah problemnya: kultur institusional penegak hukum di Indonesia dibentuk oleh KUHAP selama puluhan tahun.
Ia menjadi rujukan yang paling familiar, paling diajarkan, dan paling sering dipakai.
Akibatnya, sekalipun undang-undang khusus memberi mekanisme acara yang berbeda, preferensi aparat akan tetap kembali kepada KUHAP.
Pada akhirnya, bukan teks UU-nya yang dominan, tetapi kebiasaan aparat dalam menafsir dan memilih norma mana yang akan diterapkan.
Ketiga, Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) melalui kajian mereka tentang lex specialis mengingatkan bahwa asas ini bukanlah “mesin otomatis” yang otomatis mengesampingkan norma umum.
Ia hanya bekerja jika hubungan antara aturan umum dan aturan khusus itu jelas - baik dari sisi tujuan, mekanisme, maupun ruang lingkup.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Adi-Rianghepat.jpg)