Opini

Opini: Menagih Keadilan Fiskal untuk NTT di Tengah Paradoks Transfer ke Daerah

Keadilan fiskal yang seharusnya menjadi roh kebijakan nasional justru tergeser oleh logika ekonomi politik yang memberikan privilage

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ESTER THERESIA C TALLO
Ester Theresia Clarita Tallo 

Dengan dihapusnya komponen alokasi dasar, DAU tidak lagi menyediakan ruang fiskal bagi daerah untuk membiayai pembangunan di luar belanja pegawai. 

Kondisi ini menyebabkan DAU bagi daerah berkapasitas rendah seperti NTT hanya cukup untuk memenuhi belanja pegawai, termasuk penambahan beban berupa gaji P3K dan tunjangan peningkatan penghasilan yang ditetapkan pemerintah pusat pada tahun 2026. 

Akibatnya, pemerintah daerah tidak lagi memiliki kapasitas memadai untuk melakukan terobosan peningkatan PAD ataupun memperbaiki layanan publik dasar.

Sementara itu, jurang lebar terjadi karena daerah kaya DBH tetap menerima dukungan pembangunan fisik dari pemerintah pusat. 

Keadilan fiskal yang seharusnya menjadi roh kebijakan nasional justru tergeser oleh logika ekonomi politik yang memberikan privilage pada daerah dengan sumber daya melimpah. 

Ketika daerah miskin fiskal berjuang mempertahankan layanan minimal, daerah kaya melaju kencang dengan roda fiskal yang tidak pernah berhenti digerakkan oleh berbagai sumber pendanaan.

Situasi ini mendorong munculnya tuntutan wajar dari NTT untuk menata ulang struktur kebijakan fiskal nasional. 

Provinsi ini tidak sedang menuntut keistimewaan, tetapi menagih hak yang telah lama dijanjikan sistem otonomi daerah untuk mendapatkan porsi fiskal yang adil, proporsional, dan sesuai kebutuhan nyata. 

Keadilan fiskal bukan sesuatu yang diberikan karena belas kasihan, tetapi fondasi dasar yang melekat dalam semangat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum.

Dalam konteks ketimpangan yang telah berlangsung bertahun-tahun, NTT menegaskan pentingnya adanya dana afirmasi keberimbangan fiskal sebagai kompensasi atas ketidakadilan yang terus berulang. 

Dana ini diperlukan bukan hanya untuk menutup kekurangan jangka pendek, tetapi untuk mengembalikan kemampuan daerah dalam menjalankan pembangunan secara bermakna. 

Di sisi lain, reformasi regulasi juga menjadi kebutuhan mendesak seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 perlu dikaji ulang secara menyeluruh karena telah mengubah filosofi dasar hubungan fiskal antara pusat dan daerah yang bergeser dari prinsip pemerataan menuju logika kompetisi fiskal yang tidak setara.

Reformasi tersebut harus dimulai dari pemulihan fungsi DAU sebagai instrumen ideologis agar tidak dipandang sebagai formula teknokratis. 

Penghitungan kebutuhan fiskal harus menggunakan variabel nyata seperti biaya pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) daripada variabel indikatif yang kabur. 

Misalnya, infrastruktur jalan harus menjadi bagian dari perhitungan kebutuhan dasar, sehingga indeks kemahalan tidak lagi berdiri sendiri tanpa hubungan langsung dengan kebutuhan riil daerah. 

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved