Opini

Opini: Heboh Influencer Lebih Baik daripada Dosen?

Dosen harus didorong untuk membuat konten edukatif berkualitas tinggi yang bersifat aplikatif dan engaging di platform digital.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI INOSENSIUS E MOKOS
Inosensius Enryco Mokos 

Sementara influencer menjual kredibilitas melalui bukti kesuksesan finansial atau pengikut masif (social proof), dosen hanya mengandalkan gelar akademis. 

Ketika mahasiswa mengundang pembicara luar, mereka secara tidak langsung mengakui bahwa soft skill dan aplikasi keilmuan dari pihak luar (praktisi/influencer) lebih bernilai.

Meskipun Kemendikti Saintek telah menginisiasi kebijakan transformatif seperti Kampus Merdeka dan Kampus Berdampak, banyak dosen mengeksekusi kebijakan tersebut sebatas pemenuhan administrasi (laporan) tanpa menjiwai esensi praktisnya. 

Kegiatan magang, proyek riset, atau pengabdian masyarakat seringkali tidak maksimal dalam memberikan pengalaman karier nyata.
 
Kritik Pedas Terhadap Dosen

Fenomena yang terjadi dan diungkapkan diawal justru menjadi bahan kritik bagi para dosen untuk terus mengupgrade diri dan tidak boleh kalah dengan influencer. 

Kejadian ini harus menjadi motor penggerak bagi para dosen untuk melihat perubahan zaman dengan lebih mendalam bukan hanya pada teori dan penelitian belaka tetapi harus mengetahui setiap perubahan apa yang perlu dilakukan untuk tetap up to date terhadap pengetahuan baru. 

Lalu apa yang harus dilakukan agar dosen tidak kalah dengan influencer? Ada beberapa saran praktis. 

Pertama, dosen harus secara aktif mengintegrasikan peran akademisi dengan praktisi industri. 

Ini bukan berarti setiap dosen harus menjadi seorang CEO atau selebriti, tetapi setiap dosen wajib memiliki proyek atau kontribusi nyata yang relevan di luar kampus. 

Institusi wajib mengalokasikan SKS bagi dosen untuk terlibat dalam proyek industri (konsultasi, pengembangan startup, kontrak riset komersial).  

Kedua, membangun academic-influencer branding. Dosen harus memanfaatkan media digital untuk membangun kredibilitas (etos) dan koneksi emosional (patos) dengan mahasiswa, menandingi daya tarik influencer. 

Dosen harus didorong untuk membuat konten edukatif berkualitas tinggi yang bersifat aplikatif dan engaging di platform digital (YouTube, TikTok, Podcast). 

Targetnya adalah menjadikan dosen sebagai Thought Leader di bidang spesifiknya, bukan hanya di lingkungan kampus, tetapi secara nasional atau global.

Ketiga, menggeser metodologi pengajaran ke experience-based learning. Pengajaran harus didesain ulang dari sistem transfer pengetahuan satu arah menjadi lingkungan kolaboratif berbasis pengalaman dan pemecahan masalah (PBL-Problem-Based Learning). 

Misalnya dengan kelas sebagai agency konsultan. Dosen mengubah peran dari pengajar menjadi manajer proyek. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved