Opini
Opini: Purbaya Antara Promotheus dan Sisyphus
Purbaya muncul sebagai tokoh antagon di kalangan birokrasi yang korup dan menjadi tokoh protagon bagi rakyat yang yang sedang pengap-harap
Bahkan, sosok seagung Sri Mulyani, yang selama ini disembah sebagai dewi keuangan, tiba-tiba tampak menunduk, tak lagi mampu menutupi cacat sistem yang telah lama memanjakannya.
Paradoks datang dari sana. Purbaya lahir dan tumbuh dalam rahim oligarki itu sendiri. Ia bagian dari tubuh kekuasaan yang kini coba ia bedah dengan pisau nurani.
Pertanyaan pun muncul, apakah Purbaya bisa menyembuhkan tubuh yang luka tanpa ikut merasa sakit? Apakah mungkin melawan para jin kekuasaan dari dalam rumah yang mereka bangun?
Dan jika pada akhirnya Purbaya sadar bahwa dinding itu tak bisa ia runtuhkan, akankah ia berani keluar, melangkah ke ruang kosong yang riuh dengan suara rakyat, dan ia kontan melepaskan jabatan yang memberinya nama, demi mempertahankan sisa cahaya yang masih ada dalam dirinya?
Seberapa kuat dan sampai kapan ia bertahan? Waktulah yang menjawab.
Seperti Sisyphus, ia akan terus menggulingkan batu itu lagi ke bukit dan menurunkan lagi ke lembah, terasa sia-sia.
Tetapi, Albert Camus, berkata sebaliknya, “kita harus membayangkan Sisyphus bahagia” karena di dalam kesia-siaan itu, ada perjudian martabat manusia yang memilih berjuang. Barangkali Purbaya akan gagal.
Barangkali batu itu akan menggelinding lagi ke bawah. Namun, bila sepanjang perjalanan itu ia teguh dengan kejujurannya, maka kegagalannya akan lebih mulia daripada kemenangan mereka yang berleha di atas kebohongan.
Tiba-tiba tangan sejarah mengulurkan sekerat puisi:
Tuhan!
Bila Engkau masih betah di negeri ini
Alirkan air cinta di selokan sejarah negeri yang kian larat ini
Ajarlah kami cara bercinta
Biar kejujuran bukan sekadar kilah di balik meja biro
melainkan bongkahan batu yang jika digenggam bersama
akan menjadi tanggul cadas yang mampu
menahan longsornya kebobrokan moral negeri ini
Dan mungkin dari sana, perlahan,
bangsa ini akan belajar mencari cahaya kebenaran
yang tidak selalu datang dari kayangan,
tapi datang dari perlawanan terhadap gelap,
atau dari hati yang melankolik menolak kompromi dengan kabut. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Akademisi-Fakultas-Keguruan-dan-Ilmu-Pendidikan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.