Opini
Opini: Purbaya Antara Promotheus dan Sisyphus
Purbaya muncul sebagai tokoh antagon di kalangan birokrasi yang korup dan menjadi tokoh protagon bagi rakyat yang yang sedang pengap-harap
Pengalaman perpolitikan di Indonesia terlalu sering muncul tokoh-tokoh yang datang menebar harapan, toh, pada akhirnya tenggelam dalam romantika canda-tawa kompromi.
Pertanyaan penting, apakah Purbaya mampu bertahan untuk tidak tenggelam dalam roamantika canda-tawa kompromi?
Lantas, terus membombardir mafia birokrasi, perselingkuhan kepentingan antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang sering dikonotasikan sebagai triastipukita?
Sepertinya, pertanyaan itu hanya dijawab dengan pertanyaan pula, “siapakah pejabat berani menanggung konsekunesi hukum kebenaran yang dibabar dan dibeberkan Purbaya?”
Di level ini, mungkin Purbaya hanya peniup peluit. Kemudian, suara peluit hilang dihapus tangan waktu. Dan barangkali, hanya sampai di episode itulah Purbaya.
Sebab, di negeri ini, kebohongan telah lama diterima sebagai kebenaran. Toh, rakyat Indonesia tidak membutuhkan orang suci yang berdiri di bukit, lalu berkhotbah tentang kejujuran.
Itu pun sudah dilakukan para pejabat kita dan dewan terhormat, membangun narasi bercahaya yang berisikan kekelaman kebohongan. Kita sekadar membutuhkan orang waras yang berani karena empati terhadap keadaan rakyat.
Kegaduhan yang kian ekstrem mengandung makna bahwa dalam keriuhan politik, kita diberi tugas untuk belajar dari seseorang Purbaya yang mencoba mencintai negerinya dengan cara tak perduli, jujur, meski menyakitkan.
Purbaya tercampak di simpang buntu antara rasionalitas yang jujur dan narasi-narasi kebohongan yang menguatkan kebenaran birokratik.
Purbaya sedang diuji oleh waktu. Sebab, tak ada rezim yang paling kuat di bumi selain waktu. Usianya sebagai menteri keuangan belum setahun jagung.
Ruang kompromi yang dirawat dalam budaya Indonesia begitu genit menggoda. Karena itu, saya yakin, Purbaya pun tahu bahwa melawan sistem lebih berat daripada melawan kompromi.
Sebab, ruang kompromi semakin asyik main matanya. Bahkan, sistem itu terbentuk dari kehendak goda-menggoda itulah.
Lalu, sistem menjadi tali magnet yang mengikat kuat tuas oligarki. Dan ketika seseorang mencoba menggunting tali itu, ia akan dianggap mengganggu kenyamanan yang selama ini diterima sebagai rahmat.
Besar kemungkinan Purbaya tersedot oleh magnet canda-tawa kompromi. Dalam situasi ini, Purbaya hanya sebutir pasir yang tidak mampu menahan lahar oligarki.
Purbaya, hanya golongan orang resah dan gelisah. Mungkin, ia tak tahan menyaksikan ketimpangan yang kian melebar dan tidak percaya pada angka-angka yang hidup dalam data statistik yang optimistis.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Akademisi-Fakultas-Keguruan-dan-Ilmu-Pendidikan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.