Opini
Opini: Purbaya Antara Promotheus dan Sisyphus
Purbaya muncul sebagai tokoh antagon di kalangan birokrasi yang korup dan menjadi tokoh protagon bagi rakyat yang yang sedang pengap-harap
Oleh: Marsel Robot
Dosen Bahasa dan Sastra FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, kini berdiri di atas timbunan optimisme rakyat yang menatapnya dengan mata sayuh.
Mirip nabi sekuler yang berani membuka Kotak Pandora yang telah lama kedok itu digembok oleh tangan raksasa oligarki.
Perlahan berhamburanlah dosa-dosa sistem dengan suplemen bawaannya seperti penyimpangan, korupsi, nepotisme, dan kerakusan yang menyerang sekujur tubuh birokrasi pemerintahan negeri ini.
Baca juga: Opini: Dari Sri Mulyani ke Purbaya, Menjaga Jangkar Menata Arah
Bersamaan, terjadi penganiayaan terhadap rakyat oleh kemiskinan yang tak tertahankan.
Purbaya menghadapi Kotak Pandora dengan mata terang, dengan tongkat seorang teknokrat yang terbuat dari meritokrasi. Setiap ia berlalu, maka yang tertinggal adalah riuh paradoks.
Sebab, ia memiuh isu kebobrokan. Ia berusaha melipat kabut gelap sistem dan menjemur regulasi di halaman Indonesia yang terlalu lama dibiarkan basah oleh lumpur sindikat nepotisme dan para berhala partai politik.
Ia muncul sebagai tokoh antagon di kalangan birokrasi yang korup dan menjadi tokoh protagon bagi rakyat yang yang sedang pengap-harap dengan perubahan.
Ayunan langkah politik Purbaya terasa seperti angin jahat yang merasuk dan merusak kenyamanan koruptor dan para pemulung rente di Badan Usaha Milik Negara.
Ia berbicara lugas, tanpa beban jabatan. Kenekatan ini membuatnya tampak seperti seorang lalong liba (mitologi orang Manggarai Timur, Flores) yang tak gentar menghadapi risiko, terutama ketika ia buka perlahan aib birokrasi yang telah lama membentuk jaring laba-laba kepentingan, dan tumpukan uang rakyat di peti kemas hasil dikorupsi.
Dalam medan politik yang begitu teaterikal, Purbaya tampil seperti pawang rasionalis yang membawa nubuat mesias tanpa menenteng kitab suci.
Ia berusaha meruntuhkan tebing oligarki yang dibangun dari lapisan baja nepotisme dan kolega partai.
Di hadapannya berdiri barisan orang-orang necis yang selama ini menikmati kemewahan di atas penderitaan rakyat. Namun, tidak sedikit pula yang memandang langkah-langkah Purbaya dengan canda sinis dan ragu.
Mereka melihat Purbaya sekadar manuver politik sesaat, semacam carimuka sosial di tengah kehausan publik akan sosok juru selamat.
Dalam pandangan ini, keberanian Purbaya hanyalah gelombang halus yang mampu menghancurkan sistem korup.
Pengalaman perpolitikan di Indonesia terlalu sering muncul tokoh-tokoh yang datang menebar harapan, toh, pada akhirnya tenggelam dalam romantika canda-tawa kompromi.
Pertanyaan penting, apakah Purbaya mampu bertahan untuk tidak tenggelam dalam roamantika canda-tawa kompromi?
Lantas, terus membombardir mafia birokrasi, perselingkuhan kepentingan antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang sering dikonotasikan sebagai triastipukita?
Sepertinya, pertanyaan itu hanya dijawab dengan pertanyaan pula, “siapakah pejabat berani menanggung konsekunesi hukum kebenaran yang dibabar dan dibeberkan Purbaya?”
Di level ini, mungkin Purbaya hanya peniup peluit. Kemudian, suara peluit hilang dihapus tangan waktu. Dan barangkali, hanya sampai di episode itulah Purbaya.
Sebab, di negeri ini, kebohongan telah lama diterima sebagai kebenaran. Toh, rakyat Indonesia tidak membutuhkan orang suci yang berdiri di bukit, lalu berkhotbah tentang kejujuran.
Itu pun sudah dilakukan para pejabat kita dan dewan terhormat, membangun narasi bercahaya yang berisikan kekelaman kebohongan. Kita sekadar membutuhkan orang waras yang berani karena empati terhadap keadaan rakyat.
Kegaduhan yang kian ekstrem mengandung makna bahwa dalam keriuhan politik, kita diberi tugas untuk belajar dari seseorang Purbaya yang mencoba mencintai negerinya dengan cara tak perduli, jujur, meski menyakitkan.
Purbaya tercampak di simpang buntu antara rasionalitas yang jujur dan narasi-narasi kebohongan yang menguatkan kebenaran birokratik.
Purbaya sedang diuji oleh waktu. Sebab, tak ada rezim yang paling kuat di bumi selain waktu. Usianya sebagai menteri keuangan belum setahun jagung.
Ruang kompromi yang dirawat dalam budaya Indonesia begitu genit menggoda. Karena itu, saya yakin, Purbaya pun tahu bahwa melawan sistem lebih berat daripada melawan kompromi.
Sebab, ruang kompromi semakin asyik main matanya. Bahkan, sistem itu terbentuk dari kehendak goda-menggoda itulah.
Lalu, sistem menjadi tali magnet yang mengikat kuat tuas oligarki. Dan ketika seseorang mencoba menggunting tali itu, ia akan dianggap mengganggu kenyamanan yang selama ini diterima sebagai rahmat.
Besar kemungkinan Purbaya tersedot oleh magnet canda-tawa kompromi. Dalam situasi ini, Purbaya hanya sebutir pasir yang tidak mampu menahan lahar oligarki.
Purbaya, hanya golongan orang resah dan gelisah. Mungkin, ia tak tahan menyaksikan ketimpangan yang kian melebar dan tidak percaya pada angka-angka yang hidup dalam data statistik yang optimistis.
Padahal, genangan air mata rakyat tidak cukup ditampung dalam angka-angka yang hidup dan berkeliaran di atas buku statistik setebal itu.
Dugaan saya, Purbaya jatuh dalam godaan kompromi. Ia hanya gulma kecil di pohon purba nepotisme. Mungkin langkahnya hanya akan dikenang seperti percikan kilat sebelum hujan.
Ia hanya tanda bahwa ada mendung dan bakal hujan. Walau percikan kilat itu hanya cahaya yang mengisyaratkan bahwa memang negara ini sedang dirampok oleh koruptor.
Tapi, setidaknya, di sela kebobrokan sistem dan korupsi yang merajalela masih ada seberkas cahaya yang tumbuh dalam kegelapan dan kegelisahan.
Siapa tahu, percikan kilat itu akan tiba dalam pikiran publik, biar sekadar bertanya, kapan kebohongan ini berlalu? Dan mungkin di kalangan koruptor akan menjawab, jangan biarkan kemesrahan ini cepat belalu.
Purbaya kini berdiri di antara dua sosok yang paradoks. Prometheus dan Sisyphus (mitologi Yunani).
Di satu sisi, ia tampak seperti Prometheus yang berwatak mesias, nekat mencuri api dari kayangan (api pengetahuan, cahaya kesadaran), ia membagikan kepada rakyatnya yang lama terkurung dalam kegelapan korupsi.
Sebagai Prometheus, mungkin Purbaya pun tahu bahwa setiap upaya mencuri cahaya dari para dewa kekuasaan pasti berujung pada pengkhianatan yang menyakitkan.
Ia tahu, bongkahan batu tuduhan, batu pengkhianatan, batu tekanan akan ditimpukan kepadanya.
Pada sisi lain, ia menjadi Sisyphus, manusia congkak yang dihukum dewa Zeus untuk mengguling batu ke puncak bukit, hanya untuk melihatnya terguling lagi ke lembah hingga ia lelah dalam kesia-siaan itu?
Apakah perjuangan Purbaya, hanyalah pengulangan tanpa akhir dalam sistem yang telah memaafkan kejahatan dan menerima korupsi sebagai bagian dari kelaziman?
Apakah ia hanya menggelindingkan batu moralitas ke atas bukit kekuasaan yang licin oleh minyak nepotisme?
Hari-hari ini, Purbaya tampak seperti nabi sekuler. Ia tidak membawa kitab suci.
Tetapi karena ia masih percaya pada kejujuran di tengah zaman yang menjadikannya bahan tertawaan.
Ia mengguncang brankas-brankas keuangan negara, membuka dokumen siluman yang selama ini dianggap tabu, dan dalam gaya yang ringan, ia menerjang kemapanan yang palsu. Nama-nama besar pun tersentak.
Bahkan, sosok seagung Sri Mulyani, yang selama ini disembah sebagai dewi keuangan, tiba-tiba tampak menunduk, tak lagi mampu menutupi cacat sistem yang telah lama memanjakannya.
Paradoks datang dari sana. Purbaya lahir dan tumbuh dalam rahim oligarki itu sendiri. Ia bagian dari tubuh kekuasaan yang kini coba ia bedah dengan pisau nurani.
Pertanyaan pun muncul, apakah Purbaya bisa menyembuhkan tubuh yang luka tanpa ikut merasa sakit? Apakah mungkin melawan para jin kekuasaan dari dalam rumah yang mereka bangun?
Dan jika pada akhirnya Purbaya sadar bahwa dinding itu tak bisa ia runtuhkan, akankah ia berani keluar, melangkah ke ruang kosong yang riuh dengan suara rakyat, dan ia kontan melepaskan jabatan yang memberinya nama, demi mempertahankan sisa cahaya yang masih ada dalam dirinya?
Seberapa kuat dan sampai kapan ia bertahan? Waktulah yang menjawab.
Seperti Sisyphus, ia akan terus menggulingkan batu itu lagi ke bukit dan menurunkan lagi ke lembah, terasa sia-sia.
Tetapi, Albert Camus, berkata sebaliknya, “kita harus membayangkan Sisyphus bahagia” karena di dalam kesia-siaan itu, ada perjudian martabat manusia yang memilih berjuang. Barangkali Purbaya akan gagal.
Barangkali batu itu akan menggelinding lagi ke bawah. Namun, bila sepanjang perjalanan itu ia teguh dengan kejujurannya, maka kegagalannya akan lebih mulia daripada kemenangan mereka yang berleha di atas kebohongan.
Tiba-tiba tangan sejarah mengulurkan sekerat puisi:
Tuhan!
Bila Engkau masih betah di negeri ini
Alirkan air cinta di selokan sejarah negeri yang kian larat ini
Ajarlah kami cara bercinta
Biar kejujuran bukan sekadar kilah di balik meja biro
melainkan bongkahan batu yang jika digenggam bersama
akan menjadi tanggul cadas yang mampu
menahan longsornya kebobrokan moral negeri ini
Dan mungkin dari sana, perlahan,
bangsa ini akan belajar mencari cahaya kebenaran
yang tidak selalu datang dari kayangan,
tapi datang dari perlawanan terhadap gelap,
atau dari hati yang melankolik menolak kompromi dengan kabut. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Akademisi-Fakultas-Keguruan-dan-Ilmu-Pendidikan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.