Opini

Opini: Manusia, Makhluk yang Tak Pernah Selesai Berbahasa

Ketika berpikir, manusia sesungguhnya sedang berdialog dengan dirinya sendiri, menata moral, dan membangun makna hidup. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Yoseph Yoneta Motong Wuwur 

Oleh: Yoseph Yoneta Motong Wuwur
Warga Lembata, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Bahasa adalah cermin pikiran dan kesadaran manusia. Bahasa adalah sarana manusia memahami dunia dan diri sendiri. 

Setiap kalimat mencerminkan hubungan ide antara kesadaran pribadi dan realitas sosial.  Bahasa selalu berkembang seiring budaya, teknologi, dan zaman.

Bahasa adalah rumah pikiran, tempat manusia berpijak secara intelektual dan spiritual. 

Ketika berpikir, manusia sesungguhnya sedang berdialog dengan dirinya sendiri, menata moral, dan membangun makna hidup. 

Baca juga: Opini: Bahasa Humanistik Vs Bahasa Algoritmik

Maka, berbicara sejatinya adalah berpikir; dan berpikir adalah berbahasa.

Bahasa Lisan

Bahasa lisan adalah komunikasi tertua dan paling manusiawi. Melalui suara, manusia menyalurkan pikiran, perasaan, dan niat secara spontan. 

Suara menyimpan emosi yang tak tergantikan, menjadi gema batin dalam setiap ucapan.

Dalam percakapan langsung, bahasa lisan tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membangun kedekatan. 

Nada, intonasi, dan ritme berbicara menjadi tanda kehangatan, jarak, bahkan kasih sayang. 

Bahasa lisan adalah seni menata harmoni antara suara dan makna, antara kata yang diucap dan rasa yang disiratkan.

Namun, di era digital, suara kian jarang terdengar. Percakapan tatap muka digantikan pesan singkat dan emoji, hingga kepekaan terhadap nada dan ekspresi mulai pudar. 

Manusia berbicara lebih banyak, tetapi mendengarkan lebih sedikit. Kajian fonetik menunjukkan bahwa intonasi menyiratkan emosi halus, dari bahagia hingga kebohongan.

Bahasa lisan mengingatkan manusia untuk hadir sepenuhnya dalam percakapan: mendengar dengan hati, bukan hanya dengan telinga. 

Setiap suara yang keluar adalah pantulan jiwa; berbicara sejatinya adalah tindakan empati yang menghubungkan satu hati dengan hati lain.

Bahasa Tulisan

Ketika manusia mulai menulis, ia menaklukkan kefanaan. Tulisan menjadikan kata abadi dan memungkinkan pikiran melintasi ruang serta generasi. 

Melalui tulisan, manusia meninggalkan jejak batin yang abadi bagi masa depan.

Berbeda dari bahasa lisan yang spontan, tulisan memberi ruang bagi refleksi. 

Menulis berarti merapikan kekacauan pikiran agar dapat dipahami, baik oleh orang lain maupun oleh diri sendiri di masa yang lain. 

Dalam setiap kalimat yang tertulis, tersimpan proses berpikir yang lebih dalam daripada sekadar berbicara.

Sejarah menunjukkan bahwa aksara adalah tonggak peradaban. Dari batu, daun lontar, hingga layar digital, manusia terus mencari cara untuk mengabadikan makna. 

Meski medium berubah, esensinya tetap sama: keinginan untuk melawan lupa dan menyalakan kesadaran di tengah arus waktu.

Namun di era digital, tulisan sering kehilangan kedalaman. Kita menulis cepat, tetapi berpikir dangkal; kata berubah menjadi reaksi, bukan refleksi. 

Menulis seharusnya menjadi ruang hening bagi pikiran, semacam meditasi intelektual. 

Sebab setiap tulisan sejatinya adalah cermin diri; siapa yang menulis, ia tengah mengabadikan dirinya.

Bahasa Tubuh dan Isyarat

Sebelum manusia mampu berucap, tubuhnya telah lebih dulu berbahasa. Tatapan mata, gerak tangan, dan postur tubuh menjadi saluran makna yang sering kali lebih jujur daripada kata. 

Bahasa tubuh dan bahasa isyarat sama-sama membuktikan bahwa komunikasi tidak selalu bergantung pada suara, melainkan pada kehadiran dan niat untuk dipahami. 

Dalam keheningan, tubuh berbicara dengan kejujuran emosi yang tak dapat disembunyikan.

Gerak tubuh tidak hanya melengkapi kata, tetapi juga menguji ketulusan di baliknya. 

Sebuah senyum, anggukan, atau lirikan dapat menyampaikan pesan yang lebih dalam daripada kalimat panjang. 

Bahasa isyarat menampilkan keindahan linguistik dalam diam melalui tata bahasa, morfologi, dan ekspresi gerak. 

Kedua bentuk bahasa ini menunjukkan keluasan kapasitas manusia untuk menyalurkan makna melalui tubuh.

Namun, bahasa tubuh dan isyarat tidak bersifat universal. Setiap budaya memiliki sistem simbolnya sendiri, dan setiap komunitas memaknainya berbeda. 

Bagi komunitas Tuli, bahasa isyarat bukan alat bantu, melainkan identitas dan kebudayaan yang mempertegas eksistensi. 

Mengakui bahasa tubuh dan isyarat berarti menghargai keragaman cara manusia mengekspresikan pikiran dan perasaan.

Sayangnya, di era digital, tubuh perlahan kehilangan suaranya. Kita berbicara tanpa gestur, menatap tanpa mata, dan hadir tanpa kehadiran. 

Padahal, bahasa tubuh dan bahasa isyarat mengingatkan bahwa komunikasi sejati tak hanya lahir dari bunyi, tetapi dari kepekaan dan empati. 

Dalam keheningan gerak, manusia belajar mendengar dengan hati, bukan sekadar telinga.

Visual dan Digital

Kita hidup di era ketika gambar berbicara lebih cepat daripada paragraf. 

Bahasa visual—foto, video, simbol, dan desain—menjadi medium utama komunikasi modern. 

Dunia kini membaca dengan pandangan, bukan dengan kata. Visual memikat karena ia menyentuh emosi secara langsung; satu gambar mampu menggugah empati global lebih cepat daripada seribu kalimat.

Namun, di balik kekuatannya, visual juga menyimpan bahaya. Ia dapat dimanipulasi, dipoles, dan diarahkan untuk membangun citra semu. 

Dalam dunia yang dibanjiri gambar, batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur. 

Di sinilah pentingnya literasi visual—kemampuan untuk menafsir, mengkritik, dan menilai makna di balik setiap citra—sebagai benteng terakhir rasionalitas manusia.

Bahasa visual kini berpadu dengan teks dan simbol dalam komunikasi digital. 

Emoji, meme, dan GIF menjadi bentuk baru ekspresi yang menggabungkan rasa dan humor dalam pesan singkat. 

Kita hidup dalam era multimodal, di mana kata, gambar, dan suara saling bertaut membentuk narasi baru tentang kemanusiaan yang cepat, interaktif, namun sering kali dangkal.

Bahaya muncul ketika tampilan menggantikan makna. Ketika yang indah lebih penting daripada yang benar, dan yang viral lebih bernilai daripada yang bernas. 

Karena itu, manusia modern harus belajar kembali untuk melihat dengan makna, bukan sekadar melihat dengan mata. 

Bahasa visual, jika dibaca dengan kesadaran, bukan hanya hiasan, melainkan jendela menuju kedalaman makna yang tersembunyi.

Tak Pernah Selesai Didefinisikan

Manusia berbahasa karena ingin mengerti dan dimengerti. Namun, setiap kali kita mencoba mendefinisikan bahasa, maknanya selalu meluas dan berlapis. 

Bahasa tak pernah selesai, seperti halnya manusia tak pernah tuntas memahami diri. 

Bahasa tumbuh bersama kesadaran, dibentuk oleh pengalaman hidup yang terus berubah.

Bahasa adalah ruang bagi manusia untuk berpikir, merasakan, dan berbudaya. Ia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi esensi dari keberadaan manusia. 

Melalui bahasa, manusia menamai dunia, menata realitas, dan memberi makna. Kita menjadi manusia karena mampu mengubah pengalaman menjadi kisah dan simbol.

Setiap kata membawa sejarah peradaban. Bahasa adalah menyimpan jejak perjalanan intelektual dan emosional manusia dari masa ke masa. 

Namun di tengah derasnya teknologi, bahasa kerap kehilangan kedalaman reflektifnya. 

Kita menulis dan berbicara cepat, tetapi memahami dengan lambat; bahasa menjadi bising dan dangkal.

Tantangan manusia modern adalah menjadikan bahasa ruang perjumpaan batin, bukan sekadar alat tukar pesan. 

Sebab berbahasa sejatinya adalah upaya manusia mengenali dirinya sendiri. Dan manusia, sebagaimana bahasanya, adalah makhluk yang tak akan pernah selesai. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved