Opini
Opini: Dari Sumpah Pemuda ke Sumpah Sehat
Akibatnya, risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi dini, dan obesitas meningkat pada usia yang semakin muda.
Mahasiswa dapat menjadi motor gerakan “kampus sehat” melalui olahraga rutin, kantin bergizi, dan kegiatan mental well-being.
Siswa SMA dapat menggaungkan kampanye “stop begadang, mulai bergerak”.
Organisasi kepemudaan bisa menjadi pelopor gaya hidup sehat di media sosial, menggantikan tren konsumtif dengan tren produktif: bersepeda, tanam pohon, donor darah, hingga digital detox.
Pemuda sebagai Agen Perubahan Kesehatan
Kemenkes menegaskan bahwa remaja sehat adalah komponen utama pembangunan sumber daya manusia unggul. Artinya, kualitas kesehatan pemuda hari ini menentukan daya saing bangsa di masa depan.
Di sinilah relevansi Sumpah Pemuda menemukan makna baru: semangat kolektif untuk menjaga tubuh dan pikiran tetap tangguh.
Gerakan “Sumpah Sehat” bisa dimulai dari hal sederhana memilih makan bergizi, aktif berolahraga minimal 30 menit per hari, menjaga kesehatan mental, dan menjauhi perilaku berisiko.
Namun lebih dari sekadar gaya hidup, Sumpah Sehat harus menjadi gerakan social yang menular.
Bayangkan bila setiap pemuda menjadi “duta sehat” di lingkungannya. Ia menginspirasi teman-temannya, mengedukasi masyarakat lewat media digital, bahkan menginisiasi kegiatan sosial yang menyehatkan.
Dengan begitu, semangat Sumpah Pemuda bukan hanya dihafal, tetapi dihidupi.
Kebijakan dan Ekosistem yang Mendukung
Untuk mewujudkan generasi muda sehat, negara perlu memastikan akses layanan kesehatan yang ramah remaja, mudah dijangkau, dan bebas stigma.
Pemerintah daerah dapat mengembangkan Youth Health Corner di setiap puskesmas; sekolah dan kampus memperkuat pendidikan kesehatan mental dan reproduksi; sementara lembaga swasta ikut memfasilitasi ruang kreatif yang mendukung keseimbangan fisik dan emosional anak muda.
Selain itu, peran keluarga dan masyarakat tak kalah penting. Orang tua perlu memahami perubahan zaman bahwa tekanan akademik, ekspos media sosial, dan kesenjangan sosial dapat memicu stres dan burnout pada anak muda.
Dengan empati dan komunikasi terbuka, keluarga dapat menjadi benteng pertama bagi kesehatan mental remaja.
| Opini: Penjarahan yang Dilegalkan dan Tantangan bagi Indonesia |
|
|---|
| Opini: Isu LGBT Prada Lucky, Senjata Tumpul di Hadapan Keadilan |
|
|---|
| Opini: Saatnya Generasi Muda Bangkit dengan Kecerdasan dan Integritas |
|
|---|
| Opini: Kawasan Ekonomi Khusus untuk Siapa? |
|
|---|
| Opini: Sumpah Pemuda 97 Tahun, Mengulang Satu dari Jalan Kramat ke Jalan Desa |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.