Opini
Opini: Membangun Mesin Pertumbuhan Baru di Kabupaten Kupang
Kabupaten Kupang hanya akan tumbuh jika uang masyarakat berputar di dalam kabupaten, bukan keluar.
Oleh: Jermin Yohanis Tiran
Konsultan Strategis di Nusa Strategika Indonesia
POS-KUPANG.COM - Selama lima tahun terakhir, perekonomian Kabupaten Kupang mencerminkan pola pemulihan yang hati-hati setelah kontraksi akibat pandemi Covid-19.
Pada 2020, ekonomi daerah ini terkontraksi sebesar –0,77 persen akibat hambatan mobilitas, pelemahan konsumsi rumah tangga, serta gangguan pada sisi produksi.
Namun sejak 2021 hingga 2024, Kabupaten Kupang mencatat pertumbuhan yang relatif stabil, berkisar antara 2,75 hingga 3,63 persen, dengan rata-rata pertumbuhan lima tahunan sekitar 2,36 persen.
Angka ini menunjukkan pemulihan, tetapi juga mengungkap struktur ekonomi daerah yang berjalan lambat ketika dibandingkan dengan pertumbuhan nasional yang lebih tinggi.
Baca juga: Gubernur NTT Dorong Pemuda Jadi Generasi Kreatif, Mandiri dan Peduli Isu Sosial
Pendorong utama pemulihan ekonomi Kabupaten Kupang dalam lima tahun terakhir adalah konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, serta investasi fisik atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB).
Konsumsi rumah tangga menyumbang porsi terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), stabil pada kisaran hampir 50 persen.
Pemulihan konsumsi didorong oleh normalisasi aktivitas pasca pandemi, dukungan penyaluran perlindungan sosial, serta peningkatan mobilitas masyarakat.
Pendorong lainnya adalah PMTB (investasi), yang meningkat seiring dengan percepatan belanja modal pemerintah berupa pembangunan infrastruktur, jalan, fasilitas publik, gedung, serta perumahan.
Sementara konsumsi pemerintah berkisar 20–23 persen, terutama dari belanja pegawai, barang dan jasa, hingga kegiatan administrasi pelayanan publik.
Ironisnya, bagian terbesar dari belanja barang dan jasa pemerintah daerah justru “bocor” ke luar kabupaten karena pasokan industri lokal tidak memadai sehingga barang kebutuhan pemerintah banyak dibeli dari provinsi lain atau kota besar lain di NTT.
Kontributor pertumbuhan ini mencerminkan struktur ekonomi yang bertumpu pada sektor konsumsi domestik, belanja pemerintah, dan pembangunan fisik.
Sektor unggulan dapat dilihat pada sisi penyediaan, yaitu pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai penopang utama, konstruksi yang stabil berkat aliran proyek pemerintah, serta perdagangan tradisional yang hidup mengikuti mobilitas publik.
Di luar itu, Kabupaten Kupang juga menunjukkan geliat pada sektor lembaga non-profit terkait pelayanan masyarakat (LNPRT) terutama pada tahun politik, meski kontribusinya kecil.
Namun keunggulan sektoral ini menghadapi keterbatasan dalam transformasi nilai tambah.
Pertanian tetap didominasi komoditas primer dengan ketergantungan yang cukup tinggi pada cuaca, sektor perikanan terbentur pada kurangnya industri pengolahan, dan perdagangan sangat tergantung pada barang dari luar sehingga nilai tambahnya hilang untuk daerah.
Keterlambatan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kupang dibandingkan pertumbuhan nasional sebagian besar disebabkan oleh faktor struktural.
Pertama, kontribusi manufaktur terhadap PDRB hampir tidak signifikan. Indonesia sebagai negara tumbuh karena industrialisasi, sementara Kupang hanya menjadi konsumen.
Tanpa transformasi industri, pertumbuhan hanya mengandalkan konsumsi dan belanja pemerintah yang sifatnya jangka pendek.
Kedua, kapasitas fiskal daerah rendah, sehingga program pembangunan sangat bergantung pada transfer pusat.
Ketiga, keterbatasan infrastruktur logistik dan konektivitas antar wilayah menaikkan biaya distribusi, menekan daya saing, dan mempersulit ekspor regional.
Keempat, keterbatasan sumber daya manusia menyebabkan produktivitas stagnan. Secara keseluruhan, faktor-faktor ini membuat Kabupaten Kupang tumbuh di bawah rata-rata nasional.
Kabupaten Kupang juga bersifat net importer karena arsitektur ekonominya bergantung pada pasokan barang konsumsi pokok dan barang modal dari luar daerah.
Industri lokal belum mampu menyediakan bahan kebutuhan pembangunan pemerintah, sehingga proyek infrastruktur justru memperbesar impor antar wilayah.
Tidak adanya basis industri pengolahan membatasi ekspor komoditas primer.
Ketergantungan ini membuat ekonomi lokal “bocor” di mana uang daerah mengalir ke luar dan tidak berputar secara lokal.
Dalam konteks fiskal, ketergantungan pada proyek pemerintah pusat menciptakan pertumbuhan yang bersifat artifisial, saat proyek berhenti, pertumbuhan pun melambat.
Dengan kata lain, ekonomi daerah belum mampu berdiri sendiri tanpa “infus” dari APBN.
Untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi, pemerintah daerah harus mengubah paradigma pembangunan dari belanja konsumtif menjadi penciptaan nilai tambah.
Strategi pertama adalah memperkuat industri pengolahan berbasis sumber daya lokal.
Komoditas pertanian dan perikanan harus ditingkatkan melalui hilirisasi sederhana, mulai dari pengemasan, pengawetan, hingga diversifikasi produk.
Hal ini diyakini akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan daerah, dan mengurangi ketergantungan barang dari luar.
Kedua, pemerintah daerah perlu mendorong lahirnya klaster industri kecil dan UKM dengan memberikan akses kredit, pelatihan teknis, dan pendampingan pemasaran. Termasuk juga digitalisasi pemasaran melalui platform nasional dapat memperluas akses pasar.
Strategi ketiga adalah reformasi tata kelola belanja pemerintah daerah.
Pemda harus memprioritaskan belanja terhadap produk dan jasa lokal melalui kebijakan pengadaan yang mendukung UMKM. Dengan demikian, uang APBD berputar di dalam daerah.
Keempat, pengembangan sektor pariwisata berbasis alam dan budaya dapat menjadi sumber pertumbuhan baru, namun harus diikuti dengan pembenahan amenitas dan promosi yang terukur.
Dan kelima, konektivitas antar kecamatan harus diperbaiki untuk mempercepat perpindahan barang dan meningkatkan skala ekonomi.
Kebijakan peningkatan kualitas SDM harus dilakukan secara simultan melalui vokasional training dan inkubasi usaha kreatif.
Pemda dapat membangun pusat inkubasi untuk mendorong wirausaha muda dalam bidang kuliner, kerajinan, digital marketing, dan jasa kreatif.
Dalam menghadapi pemangkasan fiskal dari pusat, kreativitas pemerintah daerah mutlak diperlukan.
Pemerintah harus mengoptimalkan pendapatan asli daerah melalui retribusi wisata, jasa layanan, dan pengelolaan aset daerah yang lebih produktif.
Pemda dapat bermitra dengan sektor swasta melalui skema KPBU (Kerjasama Pemerintah Badan Usaha) untuk membangun infrastruktur tanpa menguras APBD.
Selain itu, Pemda perlu mendorong investasi domestik melalui insentif perizinan yang cepat dan murah.
Untuk menjadi salah satu kabupaten terdepan di NTT, Kabupaten Kupang harus menerapkan strategi diferensiasi regional, memposisikan diri sebagai pusat logistik darat di wilayah NTT, pusat inovasi pangan, dan hub pengolahan hasil laut.
Pembentukan ekosistem industri kreatif lokal dengan festival budaya, digital marketplace, dan promosi pariwisata tematik dapat menjadi motor ekonomi baru.
Kabupaten Kupang hanya akan tumbuh jika uang masyarakat berputar di dalam kabupaten, bukan keluar.
Kemandirian ekonomi menuntut keberanian mengubah struktur, dari konsumsi menjadi produksi, dari ketergantungan menjadi inovasi, dan dari pembangunan fisik semata menuju pembangunan manusia.
Jika langkah-langkah ini ditempuh dengan konsisten, maka dalam satu dekade mendatang Kabupaten Kupang berpeluang menjelma sebagai simpul ekonomi baru di Nusa Tenggara Timur. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News


 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
				
			 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.