Opini

Opini: Bahasa Humanistik Vs Bahasa Algoritmik

Bahasa algoritmik bersifat dingin dan terukur. Kata diubah menjadi data, kalimat menjadi pola, dan makna menjadi statistik.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI YOSEPH YM WUWUR
Yoseph Yoneta Motong Wuwur 

Bahasa humanistik menentang homogenisasi ini dengan memberi ruang bagi kekhasan, kreativitas, dan refleksi. 

Kata-kata yang unik, kalimat yang kritis, atau narasi yang mempertanyakan norma tetap mendapat tempat, sehingga bahasa menjadi medium pembelajaran, kesadaran, dan transformasi sosial. 

Ia memungkinkan manusia berpikir, menilai, dan berinteraksi secara sadar, bukan sekadar mengikuti algoritma.

Dengan demikian, menjaga bahasa tetap manusiawi berarti mempertahankan identitas sekaligus ruang refleksi. 

Bahasa yang bernuansa, personal, dan kritis menjadi benteng melawan keseragaman digital sekaligus jembatan untuk saling memahami, menghargai perbedaan, dan menumbuhkan empati. 

Komunikasi yang hidup lahir dari kata yang tulus, reflektif, dan berpijak pada hati nurani.

Bahasa sebagai Kreativitas dan Transformasi Sosial

Bahasa humanistik adalah medium kreativitas dan ekspresi. Setiap kata, frasa, atau kalimat menjadi sarana mengeksplorasi ide, imajinasi, dan pengalaman pribadi, memungkinkan manusia membangun perspektif unik dan menghadirkan nuansa yang hanya bisa lahir dari
interaksi batin.

Ketika kreativitas dikendalikan oleh algoritma, kebebasan ini terpangkas. Pilihan kata disesuaikan dengan popularitas atau efisiensi, bukan ekspresi orisinal. 

Gagasan yang berani atau tidak konvensional sering tersisih, sehingga inovasi linguistik dan pemikiran kritis ikut terhambat, dan bahasa kehilangan kemampuannya sebagai ruang eksperimen.

Bahasa humanistik memberi ruang bagi keberanian berekspresi. Kalimat panjang, metafora yang rumit, atau diksi unik tetap dihargai karena mampu menghadirkan pengalaman membaca atau mendengar yang mendalam. 

Kreativitas muncul dari ketidakpastian, permainan kata, dan kebebasan mengekspresikan diri tanpa harus menyesuaikan diri dengan sistem digital.

Selain itu, bahasa yang bernuansa dan kritis berperan sebagai agen transformasi sosial.

Melalui kata, manusia bisa menyoroti ketidakadilan, membangkitkan kesadaran kolektif, dan menumbuhkan nilai moral. 

Dengan bahasa seperti ini, komunikasi melampaui interaksi mekanis, menjadi ruang pertukaran pemikiran, memperkaya nurani, menumbuhkan empati, dan memperkuat solidaritas dalam masyarakat. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved