Opini
Opini: NTT Dalam Fakta Perdagangan Manusia
Ribuan warga NTT, terutama perempuan dan anak-anak muda, menjadi korban perdagangan manusia dalam lima tahun terakhir.
Oleh: Yosafat Eugenius Lamonge
Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu wilayah dengan keragaman budaya yang memukau di Indonesia.
Setiap pulau, bahkan setiap kampung, memiliki bahasa, tradisi, dan sistem nilai yang unik.
Keanekaragaman ini menjadikan NTT sebagai mozaik identitas yang kaya akan warisan leluhur.
Namun, di balik panorama indah dan kekayaan budaya tersebut, terdapat realitas sosial yang getir: persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terus menghantui, salah satunya dalam bentuk perdagangan manusia.
Baca juga: Opini: Mengobati Luka Menata Harapan, Perdagangan Orang dalam Geliat Pembangunan NTT
Masalah perdagangan manusia di NTT bukan sekadar tindak kriminal yang terpisah, tetapi merupakan fenomena sosial yang kompleks dan sistemik.
Ia tumbuh dari akar kemiskinan, ketimpangan pendidikan, keterbatasan lapangan kerja, dan lemahnya pengawasan migrasi tenaga kerja.
Situasi ini diperparah oleh budaya “ merantau” yang sudah lama melekat dalam kehidupan masyarakat NTT.
Keinginan untuk mencari pekerjaan di luar daerah atau luar negeri sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang memanipulasi harapan menjadi jerat eksploitasi.
Data dari Polda NTT pada awal tahun 2025 menunjukkan bahwa telah terjadi setidaknya tiga kasus besar perdagangan manusia yang berhasil diungkap dalam kurun waktu singkat.
Namun, angka tersebut diyakini hanya sebagian kecil dari fenomena yang sesungguhnya.
Berdasarkan laporan lembaga swadaya masyarakat dan media lokal, masih banyak kasus yang tidak dilaporkan karena korban takut, malu, atau tidak memiliki akses terhadap bantuan hukum.
Ketimpangan antara penegakan hukum dan realitas sosial inilah yang menandai betapa serius dan berlapisnya masalah perdagangan manusia di NTT.
Dengan kondisi demikian, diperlukan kebijakan publik yang terpadu, meliputi penegakan hukum yang efektif, pemberdayaan masyarakat, serta perlindungan korban yang berkelanjutan.
NTT tidak boleh terus menjadi wilayah yang dikenal karena pengiriman tenaga kerja berisiko tinggi, melainkan harus dipandang sebagai wilayah yang bangkit dengan martabat dan kesadaran hak asasi manusia yang kuat.
Fakta Korban dan Modus Perdagangan Manusia di NTT
Ribuan warga NTT, terutama perempuan dan anak-anak muda, menjadi korban perdagangan manusia dalam lima tahun terakhir.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan dan BP2MI, sejak 2020 hingga 2025, NTT menjadi salah satu daerah dengan tingkat pengiriman pekerja migran tidak berdokumen tertinggi di Indonesia.
Sebagian besar korban direkrut dengan janji pekerjaan layak di Malaysia, Timur Tengah, atau Kalimantan.
Namun kenyataannya, mereka dijadikan tenaga kerja tanpa upah, korban kekerasan fisik, atau bahkan eksploitasi seksual. Modus perdagangan manusia di NTT beragam.
Agen atau calo lokal seringkali datang ke desa-desa terpencil dengan menawarkan pekerjaan bergaji tinggi, memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat tentang prosedur migrasi legal.
Dalam banyak kasus, keluarga korban pun tidak menyadari bahwa mereka sedang mengantarkan anaknya ke jaringan perdagangan manusia.
Setelah tiba di daerah tujuan, korban kehilangan kendali dokumen identitas disita, komunikasi diputus, dan mereka hidup di bawah ancaman kekerasan.
Situasi ini membuat mereka sangat rentan dan sulit keluar dari lingkaran eksploitasi.
Aspek lain yang memperparah situasi ini adalah rendahnya literasi hukum dan HAM di tingkat desa.
Banyak masyarakat tidak tahu kemana harus melapor ketika terjadi kekerasan atau pelanggaran.
Lembaga desa dan gereja sebenarnya berpotensi menjadi garda terdepan dalam memberikan perlindungan, tetapi seringkali tidak memiliki kapasitas atau sumber daya yang cukup untuk bertindak cepat.
Akibatnya, korban terperangkap dalam sistem yang tidak berpihak pada mereka.
Perdagangan manusia di NTT juga berakar pada ketimpangan ekonomi yang struktural.
Sebagian besar masyarakat hidup dari sektor pertanian subsisten dan pekerjaan informal dengan penghasilan minim.
Dalam kondisi seperti ini, tawaran bekerja di luar daerah dengan iming-iming gaji besar menjadi satu-satunya jalan keluar yang tampak realistis.
Padahal, jalan itu seringkali berujung pada penderitaan dan kehilangan.
Penegakan Hukum dan Tantangan Implementasi
Secara normatif, Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk memberantas perdagangan manusia, terutama melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Namun, implementasinya di NTT menghadapi banyak hambatan. Penegakan hukum sering kali tidak berjalan maksimal karena koordinasi antar lembaga belum solid, sumber daya manusia penegak hukum terbatas, dan korban enggan melapor akibat ancaman maupun stigma sosial.
Banyak kasus menunjukkan bahwa proses penyelidikan berhenti di tingkat lokal, sementara aktor utama berada di luar jangkauan hukum daerah.
Rantai pelaku perdagangan manusia bersifat lintas wilayah dan bahkan lintas negara, sehingga penanganannya memerlukan kerja sama antarprovinsi dan antarlembaga.
Tanpa sistem koordinasi yang kuat, penegakan hukum hanya akan menyasar pelaku kecil sementara dalang utama tetap bebas.
Selain itu, perlindungan terhadap korban selama proses hukum masih belum optimal.
Banyak korban yang harus kembali ke kampung halaman tanpa pendampingan hukum memadai, sementara trauma fisik dan psikis belum tertangani.
Idealnya, aparat penegak hukum tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga memastikan pemulihan menyeluruh bagi korban.
Untuk itu, diperlukan pelatihan khusus bagi aparat kepolisian, jaksa, dan hakim agar memiliki perspektif HAM dan sensitif terhadap trauma korban.
Penegakan hukum juga perlu disertai dengan transparansi dan akuntabilitas publik.
Pemerintah daerah bersama masyarakat sipil harus mendorong publikasi data terbuka terkait penanganan kasus, jumlah korban yang diselamatkan, dan hasil penindakan hukum.
Dengan demikian, masyarakat dapat ikut mengawasi dan menilai sejauh mana kebijakan anti perdagangan manusia benar-benar dijalankan.
Strategi Pencegahan Berbasis Edukasi dan Pemberdayaan Ekonomi
Upaya pemberantasan perdagangan manusia tidak bisa bergantung semata pada aspek penegakan hukum.
Pencegahan berbasis edukasi dan pemberdayaan ekonomi menjadi strategi kunci yang harus dijalankan secara sistematis dan berkelanjutan.
Kesadaran masyarakat terhadap bahaya dan modus perdagangan manusia perlu ditanamkan sejak dini melalui pendidikan literasi HAM di sekolah dan komunitas lokal.
Anak muda harus diberi bekal informasi tentang cara migrasi aman dan hak-hak mereka sebagai calon tenaga kerja.
Selain pendidikan, pemberdayaan ekonomi berbasis potensi lokal merupakan langkah strategis untuk mengurangi kerentanan sosial.
Banyak daerah di NTT memiliki sumber daya alam yang kaya, seperti hasil pertanian, tenun ikat, dan pariwisata berbasis budaya. Namun, potensi ini belum dioptimalkan secara maksimal.
Pemerintah daerah bersama LSM dan sektor swasta perlu membangun program pelatihan keterampilan, pengembangan UMKM, serta akses permodalan mikro bagi kelompok rentan, terutama perempuan dan remaja.
Pendekatan pemberdayaan ini harus sensitif terhadap konteks budaya lokal.
Misalnya, dalam masyarakat adat yang masih kuat, tokoh adat dan tokoh agama dapat menjadi agen perubahan yang efektif.
Mereka bisa berperan dalam memberikan edukasi, membangun kesadaran kolektif, serta menegaskan nilai-nilai kemanusiaan yang menghormati martabat setiap orang.
Dengan demikian, pencegahan perdagangan manusia tidak hanya berbentuk kampanye formal, tetapi juga gerakan sosial yang berakar pada nilai-nilai lokal dan iman kemanusiaan.
Perlindungan dan Rehabilitasi Korban
Korban perdagangan manusia tidak hanya kehilangan kebebasan fisik, tetapi juga mengalami luka batin yang dalam.
Oleh karena itu, penanganan korban harus dilakukan secara holistik dan lintas sektor.
Layanan kesehatan terpadu yang mencakup perawatan medis, pendampingan psikologis, dan pemulihan sosial sangat dibutuhkan.
Pemerintah daerah bersama lembaga sosial dan gereja dapat membangun pusat rehabilitasi trauma yang ramah korban dan aman secara psikologis.
Selain itu, bantuan hukum gratis (pro bono) menjadi elemen penting dalam menjamin hak korban di pengadilan.
Banyak korban yang tidak tahu bagaimana menuntut haknya atau bahkan tidak mampu membayar pengacara.
Di sinilah peran organisasi bantuan hukum (OBH) dan perguruan tinggi hukum sangat dibutuhkan untuk mendampingi korban hingga memperoleh keadilan. Aspek penting lainnya adalah reintegrasi sosial.
Korban yang kembali ke masyarakat seringkali menghadapi stigma dan diskriminasi.
Diperlukan kampanye sosial yang menekankan bahwa korban bukanlah aib melainkan penyintas yang berhak untuk hidup bermartabat.
Pemerintah dapat memfasilitasi program pelatihan kerja dan bantuan modal agar mereka mampu memulai kehidupan baru.
Pendekatan humanis dan empatik perlu menjadi dasar kebijakan bukan sekadar pemulihan ekonomi, tetapi juga pemulihan martabat kemanusiaan.
Menuju NTT Bebas Perdagangan Manusia
Visi untuk mewujudkan NTT bebas dari perdagangan manusia bukanlah cita-cita utopis. Ia dapat diwujudkan melalui komitmen kolektif dan kerja sama lintas sektor.
Pemerintah daerah harus menempatkan isu ini sebagai prioritas pembangunan manusia, bukan hanya agenda sosial tambahan.
Transparansi data, evaluasi kebijakan secara periodik, dan pengawasan publik harus diperkuat untuk memastikan bahwa setiap langkah memiliki dampak nyata.
Keterlibatan masyarakat sipil, lembaga keagamaan, akademisi, dan dunia usaha menjadi fondasi keberhasilan perubahan.
Gereja, misalnya, dapat berperan sebagai pelindung moral dan sosial bagi kelompok rentan, mengingat kedekatannya dengan masyarakat akar rumput.
Media massa juga memegang peranan penting dalam membangun opini publik yang kritis terhadap praktik perdagangan manusia dan pelanggaran HAM lainnya.
Pada akhirnya, perjuangan ini tidak hanya soal hukum dan kebijakan, tetapi juga soal nurani kemanusiaan.
NTT dengan segala kekayaan budayanya harus berdiri sebagai simbol daerah yang menghormati martabat setiap manusia.
Jika pemerintah, masyarakat, dan lembaga sosial mampu bersinergi secara berkelanjutan, maka cita-cita untuk menjadikan NTT bebas dari perdagangan manusia bukanlah impian kosong, melainkan keniscayaan moral dan sosial yang dapat dicapai bersama. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.