Opini
Opini: Jalan Panjang NTT Menuju Masyarakat Pembelajar
Di tengah keterbatasan akses buku, listrik, dan internet, NTT masih mencari jalan panjang menuju masyarakat pembelajar sejati.
Negara harus hadir tidak hanya dengan buku, tapi dengan kebijakan yang berpihak pada masyarakat pinggiran.
Jika literasi adalah jantung pembangunan manusia, maka NTT harus mendapat transfusi energi kebijakan yang nyata.
Mengabaikan literasi berarti menunda kemajuan, karena masa depan provinsi ini tidak akan dibangun oleh beton dan aspal semata, melainkan oleh pikiran yang tercerahkan.
Salah satu masalah besar adalah ketimpangan digital. Menurut data Kominfo 2025, hanya 38 persen wilayah NTT yang memiliki akses internet stabil.
Di era di mana literasi digital menjadi bagian dari literasi dasar, kesenjangan ini membuat anak-anak di pedalaman semakin tertinggal.
Buku digital dan e-learning hanya menjadi mimpi bagi mereka yang bahkan tidak punya sinyal.
Ketika anak-anak kota bisa belajar lewat YouTube atau e-book, anak-anak desa masih menyalin catatan dari papan tulis ke kertas lusuh simbol nyata kesenjangan belajar di abad modern.
Namun, literasi bukan hanya tentang membaca huruf dan layar. la juga tentang membaca kehidupan: memahami informasi, berpikir kritis, dan berani berpendapat.
Di NTT, banyak komunitas literasi kini mulai melatih siswa menulis opini, membuat zine, hingga mengelola media sosial kampung.
Ini menandakan bahwa literasi sudah berkembang dari "membaca" menjadi "berpikir dan berkarya."
Dalam konteks ini, literasi menjadi alat pemberdayaan sosial menjadikan anak muda bukan sekedar penerima informasi, tetapi produsen pengetahuan bagi lingkungannya.
Sebuah riset Universitas Nusa Cendana tahun 2024 menemukan bahwa siswa yang aktif dalam kegiatan literasi komunitas memiliki tingkat kepercayaan diri dan motivasi belajar lebih tinggi hingga 35 persen dibandingkan siswa yang tidak terlibat.
Artinya, gerakan literasi bukan hanya soal buku, tapi membangun karakter dan rasa percaya diri anak-anak NTT.
Anak-anak yang terbiasa membaca dan menulis juga lebih berani berpartisipasi dalam diskusi kelas dan kegiatan sosial, menunjukkan bahwa literasi sejatinya adalah pondasi bagi partisipasi warga negara yang kritis dan demokratis.
Meski begitu, tantangan ke depan masih besar. Tanpa dukungan kebijakan yang sistemik, gerakan-gerakan kecil ini akan kelelahan.
Mereka butuh akses buku murah, dukungan logistik, pelatihan bagi relawan, dan jaringan distribusi antar-pulau.
Literasi tak bisa hanya mengandalkan semangat voluntarisme, ia perlu infrastruktur sosial yang kokoh.
Dukungan jangka panjang akan memastikan bahwa setiap taman baca tidak mati setelah semangat pendirinya padam, melainkan tumbuh menjadi pusat pembelajaran masyarakat yang berkelanjutan.
Pemerintah provinsi dan kabupaten perlu mulai melihat komunitas literasi sebagai mitra strategis, bukan pelengkap.
Alih-alih sekadar membuat program seremonial, akan lebih baik jika anggaran literasi dialokasikan langsung untuk mendukung komunitas di lapangan misalnya melalui skema hibah terbuka bagi taman baca dan kelompok literasi desa.
Pendekatan kolaboratif seperti ini telah terbukti berhasil di beberapa provinsi lain, di mana pemerintah menjadi fasilitator yang mempercayai masyarakat untuk memimpin perubahan di wilayahnya sendiri.
Selain itu, kolaborasi dengan universitas dan sekolah-sekolah perlu diperkuat.
Mahasiswa bisa menjadi agen literasi di desa-desa melalui program KKN tematik "Literasi untuk Kehidupan".
Dengan cara ini, kampus tidak hanya menjadi menara gading, tapi turut membangun ekosistem pengetahuan yang berakar pada masyarakat.
Kolaborasi ini juga dapat mempertemukan pengetahuan akademik dan kearifan lokal - dua hal yang sering terpisah tetapi sejatinya saling melengkapi dalam menciptakan masyarakat pembelajar.
Gereja, masjid, dan lembaga adat juga punya peran penting. Di banyak daerah di NTT, tempat-tempat ini adalah pusat kehidupan sosial.
Bayangkan jika setiap khotbah, doa, atau upacara adat juga menjadi ruang untuk menumbuhkan kesadaran membaca dan menulis.
Literasi bisa tumbuh seiring doa dan tradisi menjadi gerakan spiritual dan kultural sekaligus.
Di titik inilah, literasi tidak lagi sekadar aktivitas intelektual, melainkan bentuk ibadah sosial untuk memuliakan martabat manusia melalui pengetahuan.
Pada akhirnya, membangun budaya baca di NTT bukan semata soal buku, tetapi tentang memulihkan martabat manusia.
Literasi adalah jembatan dari keterbatasan menuju kebebasan berpikir, dari kemiskinan menuju kemandirian.
Saat masyarakat belajar membaca dunianya, mereka juga sedang belajar menulis masa depannya sendiri.
Sebab masyarakat yang literat bukan hanya mereka yang cerdas membaca huruf, tetapi juga peka membaca realitas, dan berani menuliskan perubahan.
Di jalan panjang menuju masyarakat pembelajar, NTT mungkin berjalan lebih lambat, tapi langkahnya pasti.
Dari Molulo ke Maumere, dari Sumba ke Soe, nyala kecil itu terus menyala.
Dan selama masih ada satu anak yang membaca dengan semangat di bawah cahaya pelita, kita tahu bahwa masa depan NTT masih ditulis dengan tinta harapan.
Karena literasi bukan sekadar kemampuan, melainkan bentuk perlawanan terhadap keterbelakangan sebuah ikrar bahwa ilmu pengetahuan akan selalu menjadi cahaya yang tak padam di ufuk Timur Indonesia. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Rikardus Herak
Nusa Tenggara Timur
masyarakat pembelajar
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Opini Pos Kupang
literasi
| Opini: Trading Valas GOLD dan AI Jadi Sumber Uang Baru Generasi Digital |
|
|---|
| Opini: Konflik Israel-Palestina dan Dekontruksi Hati Nurani |
|
|---|
| Opini: Warisan Sehat dari Leluhur, Saatnya Kembali ke Akar Budaya Nusantara |
|
|---|
| Opini: Pendidikan Katolik dan Dunia yang Tabola Bale: Footnote dari Muspas KAK 2025 |
|
|---|
| Opini: Bahasa Multimedia |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.