Opini
Opini: Jalan Panjang NTT Menuju Masyarakat Pembelajar
Di tengah keterbatasan akses buku, listrik, dan internet, NTT masih mencari jalan panjang menuju masyarakat pembelajar sejati.
Pendiri taman baca itu, seorang guru honorer bernama Maria, mengatakan dengan senyum, “Kalau mereka bisa membaca, mereka bisa bermimpi. Dan kalau bisa bermimpi, mereka bisa keluar dari kemiskinan."
Kalimat sederhana itu adalah manifesto literasi sejati. Ia membuktikan bahwa perubahan besar sering dimulai dari hati yang kecil dari orang-orang yang tidak menunggu kebijakan, tetapi menciptakan perubahan dari lingkungannya sendiri.
Kisah serupa juga datang dari Sumba. Di sana, Rumah Baca Prailiu menggabungkan tradisi lokal dengan literasi modern.
Anak-anak membaca buku cerita dalam bahasa Indonesia, lalu mendengarkan kembali versi lokalnya dalam bahasa Sumba.
Ini bukan sekadar translasi bahasa, tapi jembatan budaya - agar literasi tidak terasa asing bagi anak desa.
Dengan cara itu, mereka belajar bahwa membaca bukan berarti meninggalkan akar budaya, melainkan memperkuat identitas melalui kata dan makna.
Gerakan seperti ini membuktikan bahwa literasi tidak selalu harus dimulai dari gedung tinggi atau proyek besar.
Ia bisa tumbuh dari rumah, dari halaman gereja, dari bale-bale bambu di bawah pohon asam.
Akar rumputlah yang menjaga nyala api belajar di NTT, saat sistem formal masih sibuk dengan laporan dan program tahunan.
Di tempat-tempat itu, literasi tidak diajarkan, melainkan dihidupi - menjadi bagian dari keseharian masyarakat yang masih percaya bahwa ilmu pengetahuan adalah cahaya penuntun hidup.
Namun, pertanyaannya: sampai kapan masyarakat dibiarkan berjuang sendiri?
Pemerintah telah meluncurkan berbagai program seperti Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial.
Tetapi di banyak tempat di NTT, implementasinya masih setengah hati. Buku datang tanpa panduan, perpustakaan dibangun tanpa pustakawan, dan pelatihan guru kadang berhenti di seminar.
Literasi tidak bisa tumbuh di atas formalitas; ia butuh ekosistem yang berdenyut yang menyatukan keluarga, sekolah, dan komunitas dalam satu semangat belajar.
Padahal, UNESCO sejak 2018 menegaskan bahwa literasi adalah hak dasar abad ke-21, sejajar dengan hak atas pendidikan dan teknologi.
Rikardus Herak
Nusa Tenggara Timur
masyarakat pembelajar
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Opini Pos Kupang
literasi
| Opini: Trading Valas GOLD dan AI Jadi Sumber Uang Baru Generasi Digital |
|
|---|
| Opini: Konflik Israel-Palestina dan Dekontruksi Hati Nurani |
|
|---|
| Opini: Warisan Sehat dari Leluhur, Saatnya Kembali ke Akar Budaya Nusantara |
|
|---|
| Opini: Pendidikan Katolik dan Dunia yang Tabola Bale: Footnote dari Muspas KAK 2025 |
|
|---|
| Opini: Bahasa Multimedia |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.