Opini
Opini: Didik Anak Bukan untuk Nilai Tapi untuk Hidup
Data Riskesdas 2023 juga menyinggung masalah gizi dan kesehatan anak yang berhubungan dengan capaian belajar.
Budaya Angka dan Tekanan Anak
Fokus pada nilai sering kali melahirkan tekanan. Banyak penelitian psikologi pendidikan menemukan bahwa anak Indonesia mengalami stres akademik sejak usia dini.
Tidak jarang anak kelas 4 SD sudah mengikuti bimbingan belajar hingga larut malam.
Ironisnya, mereka kehilangan waktu bermain padahal bermain adalah sarana alami belajar anak.
Orangtua pun sering membandingkan anaknya dengan anak lain. Kalimat “Lihat tuh, kakak sepupumu dapat 100” mungkin terdengar biasa, tetapi di telinga anak itu bisa jadi beban.
Alih-alih termotivasi, anak justru merasa tidak pernah cukup baik. Akibatnya, banyak remaja tumbuh dengan rasa cemas, minder, dan tidak percaya diri.
Belajar untuk Hidup, Bukan untuk Rapor
Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. Ki Hajar Dewantara sudah lama menekankan tujuan pendidikan bukan hanya kecerdasan otak, melainkan juga budi pekerti dan kemandirian.
Kita perlu menggeser paradigma: dari academic achievement menuju life achievement. Nilai penting, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya tolok ukur.
Anak juga perlu dibekali keterampilan hidup: berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis, dan berempati.
Misalnya, ketika seorang anak belajar memasak sederhana di rumah, ia sedang berlatih sains (reaksi bahan makanan), matematika (menghitung takaran), sekaligus kemandirian.
Saat anak dilibatkan mengatur keuangan jajan mingguannya, ia sedang belajar literasi finansial.
Inilah yang sering disebut sebagai deep learning pembelajaran yang bermakna, bukan sekadar hafalan.
Peran Orangtua di Era Baru
Pertanyaannya: bagaimana orangtua bisa mengubah pola asuh? Ada beberapa langkah sederhana.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.