Opini
Opini: Didik Anak Bukan untuk Nilai Tapi untuk Hidup
Data Riskesdas 2023 juga menyinggung masalah gizi dan kesehatan anak yang berhubungan dengan capaian belajar.
Pertama, berhenti menjadikan nilai sebagai satu-satunya indikator. Tanyakan pada anak, “Apa yang kamu pelajari hari ini?” bukan “Dapat nilai berapa?” Fokus pada proses, bukan hasil.
Kedua, beri ruang bagi anak untuk mencoba dan gagal. Jangan buru-buru menyelesaikan masalah anak.
Biarkan mereka belajar bertanggung jawab. Anak yang terbiasa diberi kesempatan mencoba akan tumbuh lebih tangguh.
Ketiga, jadilah teladan. Anak lebih banyak belajar dari sikap orangtua ketimbang ceramah panjang.
Jika orangtua rajin membaca, anak akan meniru. Jika orangtua mampu mengelola emosi, anak pun belajar regulasi diri.
Keempat, kurangi perbandingan sosial. Setiap anak unik. Alih-alih membandingkan dengan orang lain, bandingkan anak dengan dirinya sendiri: apakah hari ini lebih baik daripada kemarin?
Sekolah dan Pendidikan Nasional
Tugas ini tentu bukan hanya pada pundak keluarga. Sekolah dan kebijakan nasional juga harus bergerak.
Kurikulum Merdeka sudah memberi ruang untuk pembelajaran berbasis proyek, di mana siswa belajar memecahkan masalah nyata.
Namun implementasinya sering kali masih terbentur budaya lama: ujian, ranking, dan nilai angka.
Guru perlu didukung agar lebih berani menerapkan pembelajaran kontekstual.
Misalnya, siswa tidak hanya belajar tentang lingkungan di kelas, tetapi juga terjun langsung membersihkan sungai atau menanam pohon di sekitar sekolah.
Pendidikan yang bermakna akan melahirkan anak-anak yang siap hidup di abad 21, bukan sekadar siap ujian nasional.
Penutup
Nilai akademik hanyalah angka di kertas, sedangkan kehidupan adalah ujian tanpa kunci jawaban.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.