Opini
Opini - Mengurai Krisis BBM di Sabu Raijua: Saatnya Solusi Konkret dan Berkelanjutan
Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, kembali menjadi sorotan publik.
Jika BUMDes diberi izin untuk menjual Pertamax, maka masyarakat yang mampu dapat membeli di desa, sementara subsidi tetap difokuskan bagi pengguna rentan. Pola ini terbukti berhasil di sejumlah daerah lain yang memanfaatkan BUMDes sebagai mitra distribusi energi.
3. Diversifikasi Energi untuk Nelayan dan Petani
Ketergantungan penuh pada BBM bersubsidi adalah sumber kerentanan. Pemerintah pusat bersama daerah perlu mendorong program konversi BBM ke gas elpiji 3 kg bagi nelayan kecil, sebagaimana pernah dilakukan di beberapa daerah pesisir lain.
Selain itu, program energi surya untuk pompa air pertanian sangat relevan bagi Sabu Raijua yang beriklim kering. Pilot project dapat dimulai di lahan percontohan untuk menunjukkan efektivitasnya. Dengan diversifikasi energi, kebutuhan BBM dapat ditekan secara signifikan.
4. Satgas Pengawasan BBM
Diperlukan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) BBM Kabupaten yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, DPRD, aparat keamanan, dan perwakilan masyarakat. Satgas ini berfungsi mengawasi distribusi, mencegah penimbunan, serta memastikan harga sesuai dengan regulasi.
Satgas ini harus bekerja dengan prinsip cepat, transparan, dan responsif. Misalnya, setiap laporan kelangkaan atau kenaikan harga di lapangan harus ditindaklanjuti dalam hitungan jam, bukan hari.
5. Edukasi Masyarakat
Krisis BBM juga mencerminkan persoalan literasi energi di masyarakat. Edukasi tentang bahaya penyimpanan BBM di rumah, pentingnya membeli sesuai kebutuhan, dan perbedaan antara BBM subsidi dan non-subsidi, mutlak diperlukan.
Edukasi ini bisa digerakkan melalui gereja, sekolah, kelompok nelayan, hingga organisasi pemuda. Tanpa perubahan perilaku masyarakat, kebijakan terbaik sekalipun sulit berjalan efektif.
Momentum bagi DPRD dan Pemerintah Daerah
Rekomendasi tujuh poin yang dihasilkan rapat gabungan DPRD patut diapresiasi. Namun, rapat hanyalah awal. Tugas berikutnya adalah bagaimana DPRD dan pemerintah daerah mengawal implementasi di lapangan.
Ada tiga hal penting yang perlu ditegaskan:
1. Konsistensi Advokasi
DPRD dan Pemda harus bersatu suara dalam menuntut tambahan kuota BBM ke BPH Migas dan Pertamina. Data riil pengguna BBM di Sabu Raijua harus dijadikan dasar negosiasi.
2. Pembangunan Infrastruktur Distribusi
Percepatan pembangunan SPBU di Hawu Mehara, Sabu Timur, dan Raijua bukan lagi opsi, melainkan keharusan. Tanpa infrastruktur memadai, distribusi adil hanya mimpi.
3. Pengawasan dan Penegakan Aturan
Aturan tanpa penegakan hanyalah formalitas. DPRD bersama aparat harus berani menindak pelaku perdagangan ilegal, meskipun melibatkan oknum yang berpengaruh.
Penutup: Dari Krisis Menuju Transformasi Energi
Krisis BBM di Kabupaten Sabu Raijua adalah cermin kerentanan sistem distribusi energi di daerah kepulauan. Tetapi, di balik krisis selalu ada peluang.
Peluang untuk memperbaiki tata kelola distribusi, peluang untuk memberdayakan BUMDes, peluang untuk mengurangi ketergantungan pada BBM, dan peluang untuk membangun sistem energi yang lebih berkeadilan.
Sabu Raijua bisa menjadi contoh bagaimana daerah kecil tidak pasif menerima kelangkaan, melainkan aktif mencari solusi inovatif.
Jika tujuh rekomendasi DPRD diperkuat dengan digitalisasi distribusi, pemberdayaan BUMDes, diversifikasi energi, pengawasan terpadu, dan edukasi masyarakat, maka krisis ini bisa menjadi titik balik menuju transformasi energi berkelanjutan.
Kini bola ada di tangan DPRD, pemerintah daerah, dan masyarakat Sabu Raijua. Pertanyaannya, apakah kita hanya akan mengulang rapat-rapat panjang setiap kali BBM langka, atau berani mengambil langkah konkret yang benar-benar membebaskan masyarakat dari lingkaran krisis? (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lain di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.