Opini

Opini: Talkshow dalam Bayang-Bayang Habermas

Dalam kerangka demokrasi deliberatif, talkshow seharusnya jadi arena diskursus, bukan ladang konflik verbal yang memperkuat polarisasi. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK HENDRIK MAKU
Hendrikus Maku, SVD 

Di sini, moderator berperan sebagai fasilitator, bukan pengarah opini.

Keempat, rasionalitas dan argumentasi. Habermas, dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962) menekankan pentingnya argumen yang rasional dan dapat diuji secara publik. 

Talkshow harus mendorong narasumber untuk menyampaikan data, analisis, dan logika, bukan sekadar opini emosional. 

Diskusi harus diarahkan pada pemecahan masalah, bukan memperkeruh konflik.

Kelima, transparansi dan akuntabilitas. Dalam Between Facts and Norms (1992), Habermas menjelaskan, ruang publik harus terbuka dan transparan. 

Talkshow harus menyajikan informasi yang akurat, jujur, dan dapat diverifikasi. 

Narasumber harus bertanggung jawab atas pernyataannya, dan pemirsa harus diberi akses untuk mengevaluasi informasi.

Ketika Akal Sehat Tersingkir oleh Sorotan Kamera

Mengimplementasikan pemikiran Habermas dalam talkshow berarti mentransformasi panggung retorika menjadi ruang dialog yang rasional, inklusif, dan edukatif—tempat di mana suara bukan sekadar gema ego, melainkan jembatan menuju pemahaman bersama. 

Dalam kerangka demokrasi deliberatif, talkshow seharusnya menjadi arena diskursus, bukan ladang konflik verbal yang memperkuat polarisasi. 

Namun kenyataannya, banyak talkshow hari ini lebih sibuk memproduksi kebisingan daripada pemahaman; kamera menyala, mikrofon terbuka, tetapi yang terdengar bukan dialog, melainkan dominasi. 

Maka, dengan nutrisi intelektual dari Habermas, media perlu mengubah orientasi dari rating ke edukasi, melatih moderator sebagai fasilitator nalar, dan mendorong narasumber berbicara dengan etika dan substansi. 

Baca juga: Opini : Sopi, Moke dan Angin Politik

Sebab, ketika ruang publik kehilangan rasionalitas, kita tak lagi berbicara kepada akal sehat, melainkan sekadar memuaskan hasrat tontonan. 

Apakah kita masih menginginkan ruang publik yang mencerdaskan, atau menyerah kepada kebisingan yang menghibur tapi tak pernah benar-benar menyentuh nurani kita? (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved