Opini

Opini: Talkshow dalam Bayang-Bayang Habermas

Dalam kerangka demokrasi deliberatif, talkshow seharusnya jadi arena diskursus, bukan ladang konflik verbal yang memperkuat polarisasi. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK HENDRIK MAKU
Hendrikus Maku, SVD 

Oleh:  Hendrikus Maku, SVD
Alumnus Sekolah Dasar Inpres Ulungali, Pongkor, Satar Mese, Manggarai Flores

POS-KUPANG.COM - Dalam lanskap media televisi Indonesia, talkshow telah menjadi format dominan untuk membahas isu-isu politik, sosial, dan kebangsaan. 

Acara-acara seperti Mata Najwa, Catatan Demokrasi, Rakyat Bersuara, dan berbagai forum debat lainnya, kerap menghadirkan tokoh publik dengan opini yang tajam dan retorika yang menggugah. 

Namun, jika ditinjau dari lensa pemikiran Jürgen Habermas tentang ruang publik dan diskursus rasional, banyak talkshow justru gagal menjalankan fungsi deliberatifnya. 

Alih-alih menjadi ruang dialog yang mencerdaskan, talkshow sering kali berubah menjadi panggung konflik verbal, interupsi emosional, dan dominasi suara. 

Ketika komunikasi publik kehilangan orientasi pada konsensus dan pemahaman bersama, talkshow tak lagi menjadi wahana pencerdasan demokrasi, melainkan cermin dari krisis nalar kolektif.

Talkshow: Antara Suara dan Substansi

Istilah talkshow minus diskursus merujuk pada format acara bincang-bincang yang menampilkan banyak narasumber dan opini, tetapi minim kedalaman analisis, refleksi filosofis, dan pertukaran gagasan yang sehat. 

Diskusi berubah menjadi debat kusir, penuh interupsi, diksi negatif, dan saling mendiskreditkan.

Alih-alih menjadi ruang deliberasi publik yang mencerdaskan, talkshow semacam ini justru memperlihatkan fragmentasi komunikasi, di mana narasumber lebih sibuk mempertahankan ego dan posisi politik daripada membangun pemahaman bersama. 

Demokrasi yang seharusnya berbasis dialog berubah menjadi arena konflik verbal.

Penggunaan diksi negatif dan retorika agresif menunjukkan bahwa bahasa dalam talkshow bukan lagi alat komunikasi, melainkan alat dominasi. 

Ini berbahaya karena berpotensi membentuk persepsi publik yang bias, memperkuat polarisasi, dan menormalisasi kekerasan verbal sebagai bagian dari budaya politik.

Talkshow idealnya menjadi media edukasi politik dan sosial. Namun, ketika diskursus hilang, yang tersisa hanyalah tontonan emosional tanpa substansi. 

Pemirsa tidak diajak berpikir, melainkan diarahkan untuk memilih kubu, membenci lawan, dan menikmati konflik.

Fenomena ini menuntut reformasi etika media dan peningkatan literasi publik. 

Media harus kembali pada fungsi edukatif dan konstruktif, sementara publik perlu dilatih untuk membedakan antara debat yang sehat dan konflik yang destruktif.

Mencari Makna di Tengah Kebisingan

Talkshow dan diskursus yang ideal adalah ruang publik yang mengedepankan dialog yang konstruktif, reflektif, dan edukatif, bukan sekadar debat atau adu argumen. 

Dengan menghadirkan para narasumber kompeten, moderator netral, dan tema diskusi yang relevan dengan kepentingan publik, talkshow hadir tidak hanya untuk tujuan menghibur, tetapi terlebih untuk mencerdaskan dan memperluas wawasan. 

Alih-alih mendapatkan hiburan gratis, pemirsa yang cerdas justru menantikan kehadiran dari sebuah diskursus. 

Yang ditunggu adalah pertukaran gagasan yang berbasis pada rasionalitas, etika, dan keterbukaan, di mana setiap pihak mendengarkan, merespons dengan argumen yang logis, dan berusaha mencapai pemahaman bersama. 

Telinga pemirsa menantikan bunyi bahasa yang santun dan argumentatif, bukan diksi yang merendahkan, menyudutkan, atau memprovokasi. 

Pemirsa mengimpikan sebuah diskusi yang berfokus pada substansi, bukan sensasi – ada ikhtiar untuk menggali isu secara mendalam, bukan sekadar memancing emosi. 

Lebih lanjut, pemirsa yang cerdas mendambakan terciptanya ruang refleksi dan edukasi, agar dapat memahami konteks, nilai, dan solusi dari isu yang dibahas.

Habermas dan Ironi Talkshow Kita

Habermas mengembangkan konsep ruang publik dan diskursus rasional dalam dua karya penting yakni The Structural Transformation of the Public Sphere (1962) dan Between Facts and Norms (1992).  

Menurut Habermas, ruang publik mesti dikonstruksi sebagai arena diskusi yang rasional dari warga negara, mereka yang bebas dari dominasi negara dan pasar. 

Ia memperluas gagasan ruang publik ke dalam teori demokrasi deliberatif yang memberikan penekanan kepada urgensitas dari komunikasi rasional sebagai dasar legitimasi hukum dan kebijakan. 

Dengan kata lain, Habermas menekankan pentingnya ruang publik deliberatif, di mana warga negara bisa berdialog secara rasional dan setara. 

Dengan merujuk kepada pandangan Habermas, talkshow seyogianya menjadi arena diskursus, bukan panggung konflik. 

Semua yang terlibat harus menjunjung rasionalitas, keterbukaan, dan kesetaraan dalam berbicara. 

Sebab, tujuan utama yang hendak dicapai adalah terbangunnya infrastruktur pemahaman bersama, bukan memenangkan argumen.

Penerapan pemikiran Jurgen Habermas dalam talkshow dapat menjadi acuan penting untuk menciptakan ruang diskusi publik yang sehat, rasional, dan demokratis. 

Habermas, melalui konsepnya tentang “ruang publik” dan “tindakan komunikatif”, memberikan kerangka filosofis yang sangat relevan bagi media dan penyelenggara talkshow.

Setidaknya, ada lima poin pencerahan dari pemikiran Habermas untuk format talkshow yang berkualitas. 

Pertama, talkshow sebagai ruang publik deliberatif. Habermas, dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962) menjelaskan, ruang publik harus memungkinkan warga berdiskusi secara terbuka dan rasional tentang isu-isu sosial dan politik. 

Dalam hal ini, talkshow harus menjadi ruang deliberasi, bukan sekadar hiburan atau konflik. 

Untuk itu, tema yang diangkat harus relevan dengan kepentingan publik dan mendorong partisipasi pemirsa dalam berpikir kritis.

Kedua, tindakan komunikatif yang dimengerti sebagai dialog, bukan dominasi. 

Habermas, dalam The Theory of Communicative Action (1984), membedakan antara tindakan komunikatif (bertujuan saling memahami) dan tindakan strategis (bertujuan memanipulasi atau mendominasi). 

Dalam hal ini, moderator dan narasumber harus berkomunikasi dengan niat untuk memahami dan membangun konsensus, bukan untuk menjatuhkan lawan bicara. 

Untuk itu, yang perlu dihindari adalah retorika agresif, interupsi, dan diksi yang merendahkan.

Ketiga, kesetaraan dalam berbicara. Dalam The Theory of Communicative Action (1984)  Habermas menerangkan, diskursus yang ideal selalu mengandaikan adanya kesempatan yang sama bagi semua perserta, untuk berbicara dan didengarkan. 

Talkshow harus memberi ruang yang adil bagi semua narasumber, tanpa bias politik atau ekonomi. 

Di sini, moderator berperan sebagai fasilitator, bukan pengarah opini.

Keempat, rasionalitas dan argumentasi. Habermas, dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962) menekankan pentingnya argumen yang rasional dan dapat diuji secara publik. 

Talkshow harus mendorong narasumber untuk menyampaikan data, analisis, dan logika, bukan sekadar opini emosional. 

Diskusi harus diarahkan pada pemecahan masalah, bukan memperkeruh konflik.

Kelima, transparansi dan akuntabilitas. Dalam Between Facts and Norms (1992), Habermas menjelaskan, ruang publik harus terbuka dan transparan. 

Talkshow harus menyajikan informasi yang akurat, jujur, dan dapat diverifikasi. 

Narasumber harus bertanggung jawab atas pernyataannya, dan pemirsa harus diberi akses untuk mengevaluasi informasi.

Ketika Akal Sehat Tersingkir oleh Sorotan Kamera

Mengimplementasikan pemikiran Habermas dalam talkshow berarti mentransformasi panggung retorika menjadi ruang dialog yang rasional, inklusif, dan edukatif—tempat di mana suara bukan sekadar gema ego, melainkan jembatan menuju pemahaman bersama. 

Dalam kerangka demokrasi deliberatif, talkshow seharusnya menjadi arena diskursus, bukan ladang konflik verbal yang memperkuat polarisasi. 

Namun kenyataannya, banyak talkshow hari ini lebih sibuk memproduksi kebisingan daripada pemahaman; kamera menyala, mikrofon terbuka, tetapi yang terdengar bukan dialog, melainkan dominasi. 

Maka, dengan nutrisi intelektual dari Habermas, media perlu mengubah orientasi dari rating ke edukasi, melatih moderator sebagai fasilitator nalar, dan mendorong narasumber berbicara dengan etika dan substansi. 

Baca juga: Opini : Sopi, Moke dan Angin Politik

Sebab, ketika ruang publik kehilangan rasionalitas, kita tak lagi berbicara kepada akal sehat, melainkan sekadar memuaskan hasrat tontonan. 

Apakah kita masih menginginkan ruang publik yang mencerdaskan, atau menyerah kepada kebisingan yang menghibur tapi tak pernah benar-benar menyentuh nurani kita? (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved