Opini

Opini: Urgensi Langkah dan Kebijakan Strategis untuk Akselerasi Pembangunan Daerah

Penentuan “nasib” APBD dan nasib investasi di daerah memang tak benar-benar ada di daerah, tapi di Senayan dan di Istana Presiden.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI JERMIN Y TIRAN
Jermin Yohanis Tiran 

Daerah tak terlalu tertarik melakukan itu karena daerah tidak mendapatkan bagian dari pajak pertambahan nilai di daerah (PPN) dan juga tidak mendapatkan apa-apa dari pajak pendapatan (Pph) di saat semakin banyak tenaga kerja baru di daerah.

Berbeda dengan di China. Peran daerah dalam perkembangan ekonomi China  sangat progresif.

Secara politik, China memang negara komunis dengan sistem satu partai yang sampai hari ini masih berideologi leninisme. 

Tapi di dalam praktik hubungan pusat dan daerah, China adalah negara yang paling desentralistis di dunia, termasuk secara fiskal, di mana otonomi pemerintahan daerah sangat tinggi. 

Daerah-daerah berlomba-lomba untuk menorehkan angka pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, karena daerah, baik provinsi, kabupaten, ataupun kota dan perfecture, mendapatkan bagian dari PPN dan Pph yang ditarik oleh pemerintah.

Pun keberhasilan  dalam pembangunan ekonomi menjadi tolak ukur prestasi kepala daerah di dalam meniti karir di dalam partai.

Dalam konteks itulah mengapa pemerintahan daerah di China berlomba-lomba mendirikan  perusahaan keuangan dan pembiayaan milik daerah, biasa dikenal dengan  “Local Government Financing Corporation”(LGFC).

Pendirian LGFC  untuk mengembangkan segala potensi yang ada di daerah, terutama lahan  agar para investor datang ke daerah dengan segala kemudahan.

Untungnya di China, lahan atau tanah di daerah perkotaan adalah milik pemerintah, sementara di pedesaan milik kolektif.

Dengan demikian lahan tersebut bisa disekuritisasi menjadi aset-aset finansial yang kemudian dijual kepada lembaga-lembaga keuangan di China, dengan dukungan dan jaminan dari pemerintah daerah sekaligus pemerintah pusat.

Dari penjualan aset finansial tersebut, perusahaan pengembangan kawasan di China mendapatkan modal awal untuk menyiapkan lahan menjadi kawasan yang siap untuk didatangi oleh investasi baru.

Sementara di Indonesia, misalnya, atau di Filipina, pemerintahan daerah sama sekali tidak terlalu tertarik untuk melakukan itu. Baik karena nihilnya insentif fiskal maupun karena jebakan rutinitas setelah pemimpin baru dilantik. 

Tidak sedikit memang BUMD didirikan untuk mempercepat pembangunan di daerah, tapi ujungnya sama dengan nasib “timsus” atau “satgas” percepatan investasi di daerah, yang diduduki oleh para relawan politik untuk mendapatkan “retainer” finansial sebagai imbal jasa atas dukungan politik di saat pemilihan umum. 

Walhasil, ujungnya tetap nihil disertai kontroversi di tengah jalan, yang ujungnya juga tak memperbaiki situasi.

Sementara dari sisi fiskal daerah dan perencanaan pembangunan di daerah, jebakan rutinitas sudah terasa sedari dulu. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved