Opini
Opini: Menalar Demonstrasi
Serangkaian kecurigaan ini berpotensi memperkuat benteng pertahanan diri pemerintah dari kritik rakyat.
Kecurigaan dan stigma justru memicu eskalasi ketidakpercayaan dan kebencian warga terhadap pemerintah.
Oleh karena itu, fenomena demonstrasi mesti dibaca dengan sudut pandang lain.
Pemerintah mesti melihat alasan mendasar di balik demonstrasi seraya mencermati tuntutan-tuntutan politik yang lahir dari nurani rakyat.
Kegagalan DPR
Demonstrasi beruntun di Indonesia saat ini dilatarbelakangi oleh kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas bertentangan dengan cita-cita rakyat.
Dalam situasi itu, DPR yang diharapkan menjadi sandaran utama untuk menyuarakan kritik dan tuntutan rakyat malah mengumandangkan pandangan-pandangan negatif tentang para demonstran dan aksi demonstrasi yang mereka jalankan.
Alih-alih menjadi penyambung lidah rakyat dan menjadi pejuang kepentingan rakyat, DPR justru menggunakan ototitas untuk menggoalkan kepentingannya sendiri.
Hal itu tercermin dengan jelas dalam upaya menaikkan tunjangan dan gaji DPR di tengah paceklik ekonomi, naiknya harga BBM, beras, dan pajak.
Pemantauan yang dilakukan oleh Litbang Kompas atas percakapan di media sosial sepanjang 16-26 Agustus 2025 menunjukkan bahwa sentimen negatif publik atas DPR mencapai 88,9 persen.
Angka ini jauh melampaui sentimen positif yang besarannya hanya 1,7 persen dan sentimen netral 9,4 persen (Kompas.id).
Tingginya sentimen negatif ini cukup beralasan. Gaya hidup materialistis, korupsi, dan arogansi verbal yang dipertontonkan sebagian anggotanya telah menjadi faktor pemicu melebarnya aksi masa.
Mengacu pada kenyataan ini, tidaklah mengherankan kalau warga juga menuntut agar DPR bertanggung jawab terhadap situasi krusial di tanah air saat ini.
Dalam skema Trias Politica, DPR dibentuk sebagai kekuatan representatif untuk menghindari bahaya pemerintahan yang otoriter (Asshiddiqie, 2006).
Problemnya, fungsi dan peran ini tidak dijalankan dengan maksimal. Jadi, wacana pembubaran DPR yang menggema di ruang publik belakangan ini didasari oleh ketidakpuasan rakyat terhadap lembaga legislatif ini.
Meskipun pembubaran DPR merupakan kemustahilan dalam sebuah tatanan demokratis, wacana yang diperkuat oleh tingginya sentimen negatif publik mesti disikapi sebagai ajakan bagi DPR untuk memperbaiki kinerjanya.
Opini: Green Chemistry, Solusi Praktis Melawan Krisis Lingkungan di NTT |
![]() |
---|
Opini - Drama Penonaktifan Anggota DPR: Siapa yang Sebenarnya Berkuasa, Rakyat atau Partai? |
![]() |
---|
Opini: Anomali Tunjangan Pajak DPR RI, Sebuah Refleksi Keadilan Fiskal |
![]() |
---|
Opini: Paracetamol Publik Menyembuhkan Demam Bukan Penyakit |
![]() |
---|
Opini: Pendidikan Generasi Muda Indonesia Berciri Kalos Kagathos Menurut Konsep Paidea Plato |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.