Opini

Opini: Ketika Esensi Kemerdekaan Dibolak Balik oleh Lagu Tabola Bale

Irama gembira yang dibalut sentuhan gerakan kaki penuh energik dan kekinian, lirik sederhana namun menyentuh psikologis manusia..

Editor: Dion DB Putra
DOK POS-KUPANG.COM
Apolonius Anas 

Anehnya fenomena seperti itu serasa kompak dan momentum tanpa ada yang mengatur. 

Penampilan lagu tabola bale di panggung kehormatan Istana Negara seolah turut mewakili kondisi bangsa dan wajah pemerintahan yang telah melakukan perbuatan menentang tujuan hakiki kemerdekaan yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur sejahtera lahir dan batin. 

Namun sang saka merah putih seolah memberi tanda bahwa ia tidak layak dikibarkan karena pemerintah kerap “tabola bale” dalam berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat sendiri. 

Janji politik bernuansa tabola bale, komitmen kesejahteraan sering kali tidak konsisten, dan kebijakan publik kadang lebih berpihak pada elite ketimbang rakyat kecil semakin memperkuat fenomena tabola bale itu nyata. Maka, kehadiran lagu ini di Istana justru mencerminkan kenyataan sesungguhnya itu.

Lebih dalam lagi, boleh jadi pilihan lagu ini merupakan "gambaran jujur" tentang kondisi bangsa saat ini yang sedang berada dalam turbulensi. 

Kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah seperti di Kabupaten Pati, kebijakan ekonomi yang kocar-kacir, inflasi yang tak terkendali, serta janji yang sering tak sejalan dengan realitas adalah petunjuk tambahan bahwa masyarakat sedang terjebak penyakit tabola bale. 

Negara seolah-olah ingin menutupi ketegangan itu dengan hiburan musik dan lagu viral agar rakyat dihipnotis.

Viral Bukan Standar Moral

Dalam konteks acara kenegaraan, alasan “hiburan” seharusnya tidak bisa diterima begitu saja. Viralitas bukanlah standar moral, apalagi dalam perayaan sebesar HUT RI.

Indonesia adalah bangsa dengan kekayaan budaya dan musik yang luar biasa. 

Kita mestinya menampilkan lagu-lagu daerah dari Sabang sampai Merauke atau dari Miangas sampai Pulau Rote yang sarat dengan pesan perjuangan dan kebersamaan, syair tradisional yang mengajarkan kebijaksanaan, serta lagu perjuangan yang membakar semangat nasionalisme. 

Mengapa semua itu dikesampingkan hanya demi mengikuti arus viral? Bukankah tugas negara adalah mengarahkan selera rakyat bergumul dalam situasi tercekik akibat kondisi bangsa, bukan justru tunduk pada tren populer yang cepat berlalu?

Krisis pemahaman pada hal yang esensial seperti ini sebenarnya menyingkap persoalan lebih mendasar apakah bangsa ini masih setia pada roh kemerdekaan?

Delapan puluh tahun merdeka sejatinya menjadi momen untuk mengingat, merenungkan dan memperjuangkan cita-cita luhur founding fathers mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Apa yang tampak dalam perayaan ini justru sebaliknya rakyat belum merasakan ketidakadilan, kesenjangan semakin melebar, sementara pemimpin negara larut dalam pesta goyangan tabola balek. 

Jika momentum sebesar ini tidak dipakai untuk mendidik anak bangsa, lalu kapan lagi ruang pendidikan kebangsaan akan hadir?

HUT RI ke-80 seharusnya dijadikan momen untuk mengingatkan seluruh rakyat tentang nilai kemerdekaan sejati. 

Pendidikan kebangsaan harus menjadi roh utama minimal melalui lagu yang berkharisma, bukan sekadar lagu viral hiburan tidak etis, sesaat dan menyesatkan yang pada gilirannya kehilangan makna. Atau dengan kata lain rakyat tidak punya pegangan pasca perayaan yang penuh sakral ini.

Ketika rakyat sudah merasakan keadilan sosial dan kemakmuran, barulah dansa dan goyangan sebagai wujud sukacita negara merdeka pantas dijadikan simbol perayaan.

Namun selama rakyat masih berada dalam belenggu dan terjerat dalam penderitaan, maka tabola bale seperti memercik air di dulang kena muka sendiri. 

Tabola bale hanya akan dikenang sebagai lagu pesta kemerdekaan di atas luka rakyat. Rakyat menjerit dipaksa goyang merdeka. Sungguh ironis.

Dengan demikian, pelajaran berharga dari kontroversi hadirnya lagu tabolak bale di Istana Negara yakni negara tidak boleh lagi terjebak dalam euforia viral. 

Negara harus hadir mengedukasi yang benar untuk rakyat apalagi di HUT Kemerdekaan RI bukan mengesampingkan rakyat dari sejarah yang benar dan bermartabat. 

Momentum kenegaraan sekelas HUT Kemerdekaan RI bukanlah ruang pesta tanpa makna ideologis tetapi ruang pendidikan dan refleksi antar generasi. 

Bangsa Indonesia terlalu besar untuk direduksi hanya merujuk pada tontonan singkat berbasis viral di media digital.

Jika pemerintah saat ini sungguh mencintai rakyatnya, maka kembalilah pada akar dimana pada esensi dasar kemerdekaan sesungguhnya. 

Minimal lagu-lagu yang dibawakan saat perayaan adalah lagu yang berkisah tentang perjuangan, syair daerah, pada nilai-nilai yang mengingatkan warga bangsa bahwa kemerdekaan bukan sekadar hasil melainkan amanat sejarah yang harus terus diperjuangkan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved