Opini

Opini: Populisme Otoritarian Prabowo

Seperti sedang bermimpi, saya menyaksikannya seolah Prabowo sedang berkampanye dalam perhelatan pilpres. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI FERDINANDUS JEHALUT
Ferdinandus Jehalut 

Oleh: Ferdinandus Jehalut
Direktur Ranaka Institute dan Dosen Komunikasi Politik FISIP Undana Kupang - Nusa Tenggara Timur.

POS-KUPANG.COM - Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo dalam Sidang Tahunan MPR RI, Jumat (15/8/2025) terkesan teatrikal. 

Ia menunjukkan gaya khas populisme: menggebrak meja, mengecam “serakahnomic”, dan mengglorifikasi program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Para anggota dewan merespons dengan tepuk tangan panjang dan tiga kali standing applause. 

Ini situasi langka di gedung parlemen yang seolah memberi sinyal sudah digembosnya oposisi.

Semua narasi Prabowo Subianto terdengar merakyat. Retorikanya juga memikat. 

Seperti sedang bermimpi, saya menyaksikannya seolah Prabowo sedang berkampanye dalam perhelatan pilpres. 

Padahal saatnya rakyat butuh realisasi, bukan kampanye atau janji terus-menerus.

Kampanye permanen

Dalam komunikasi politik, hal semacam ini memang lumrah. Seorang pejabat publik yang terpilih melalui official elections biasanya secara konsisten menanamkan citra positif di benak konstituen melalui strategi permanent campaign. 

Kampanye permanen adalah strategi kampanye politik yang tidak berhenti saat pemilu usai. 

Pemerintah terus berkampanye sepanjang masa jabatan melalui komunikasi intens, survei opini, dan pencitraan publik (Kaid, 2004).

Strategi ini menurut Kaid punya keuntungan: menjaga kedekatan dengan masyarakat, membuat pemerintah lebih tanggap, dan menjaga pesan politik tetap konsisten. 

Tujuannya ialah memenangkan hati dan pikiran warga setiap saat. Meskipun demikian, kampanye permanen sering fokus pada popularitas instan, mempolitisasi isu publik berlebihan, dan menggerus kualitas demokrasi karena ruang diskusi digantikan oleh retorika tanpa henti.

Kampanye permanen memberi lahan subur bagi populisme, karena retorika kerakyatan bisa terus direproduksi tanpa jeda demi mengokohkan legitimasi politik. Populisme seperti inilah yang kini ramai diperdebatkan.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved