Opini

Opini: Ekologi Sastra, Harmoni Manusia dan Alam

"Pantat ke ladang" simbolisasi penolakan halus, sedangkan "kepala ke hutan" adalah arahan positif menuju tempat yang seharusnya.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI GREGORIUS NGGADUNG
Gregorius Nggadung 

Oleh: Gregorius Nggadung
Alumni Program Studi Ilmu Linguistik Undana Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Ekologi sastra merupakan pendekatan untuk memahami hubungan timbal balik antara karya sastra dengan lingkungan alam. 

Pendekatan ini mengeksplorasi bagaimana teks sastra merefleksikan dunia alami dan juga berkontribusi pada pembentukan kesadaran ekologis dalam masyarakat. 

Dapat dikatakan, bahwa ekologi sastra adalah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup dalam perspektif sastra, atau sebaliknya – bagaimana memahami kesastraan dalam perspektif lingkungan. 

Konteks Manggarai Timur, Flores – Nusa Tenggara Timur, ungkapan tradisional yang disebutkan mencerminkan kekayaan luar biasa dari kearifan ekologis yang telah menjadi bagian penting dari budaya setempat. 

Ungkapan "neka tapa zat, zaga raghang tana" bukan sekadar larangan sederhana, melainkan manifestasi pemahaman mendalam tentang ekosistem padang rumput dan memiliki kontribusi dalam pelestarian lingkungan. 

Masyarakat Manggarai Timur memahami, bahwa membakar rumput di padang secara sembarangan akan mengganggu siklus alami tanah dan vegetasi. 

Dalam perspektif ekologi sastra, ungkapan ini mengusung gaya imperatif yang kuat dan bermakna. 

Pernyataan "awas dilanda kekeringan" tidak hanya sekadar peringatan kosong, tetapi juga merupakan suatu prediksi ilmiah yang didasarkan pada pengalaman yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. 

Pembakaran rumput yang dilakukan tanpa pengendalian dapat merusak struktur tanah, mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air, dan pada akhirnya menyebabkan kondisi kering yang berkepanjangan.

Ungkapan "kain ele nggami, sia koka, motang, te'us, nggolo ze wone uma, ulun ze wean kalang" menampilkan dimensi komunikasi antarspesies yang sangat menarik dalam ekologi sastra

Di sini, manusia tidak berperan sebagai penguasa yang memiliki hak untuk mengusir atau membunuh, melainkan sebagai komunikator yang meminta pemahaman. 

Ungkapan "permohonan kami" mencerminkan sikap rendah hati manusia menghadapi makhluk lain, serta mengakui, bahwa hewan-hewan memiliki hak untuk hidup dan kebutuhan yang mendasar.

Metafor "nggolo ze wone uma, ulun ze wean kalang" - pantat binatang mengarah ke ladang, kepala mengarah ke hutan adalah puisi ekologis yang brilian. 

Secara leksikal, ini adalah bentuk permohonan, agar hewan-hewan kembali ke habitat aslinya di hutan dan tidak merusak tanaman budidaya. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved